Romanisti di seluruh dunia terbelah menjadi dua.
Setelah setengah musim Serie a 2015-2016 bergulir demi menyaksikan
inkonsistensi Gladiator Roma di bawah arahan Rudi Garcia, Romanisti harus
mengucapkan kata perpisahan kepada pelatih asal Perancis yang membawa AS Roma
mampu menjadi runner-up liga dua musim berturut-turut, dan bereuni dengan salah
satu pelatih kesayangan publik Olimpico, Luciano Spalletti. Prestasi Luciano
Spalletti yang pernah menjadikan AS Roma salah satu klub yang disegani di
dataran Eropa meskipun dengan materi skuad ala kadarnya membuat banyak
Romanisti terbuai dan memimpikan reuni indah dengan pelatih yang terkenal
dengan taktik false nine tersebut.
Hal itu terbukti, dengan kemenangan 8 kali beruntun yang ditorehkan skuad Roma
setelah dilatih oleh Mr. Spall. Namun, hasil tersebut dirasakan hambar oleh
sebagian Romanisti karena keputusan kontroversial pelatih berkepala plontos itu
mencadangkan The King of Rome,
Francesco Totti meskipun ia sedang dalam kondisi fit.
Francesco Totti sudah dianggap Romanisti merupakan
nyawa AS Roma. Julukan The King of Rome
disematkan kepada pemilik nomor punggung 10 tersebut karena prestasi dan
dedikasi yang diberikannya kepada AS Roma. No
Totti No Party adalah jargon yang hampir selalu terlihat bukan hanya di
stadion Olimpico saja, bahkan hampir di sudut-sudut kota Roma. Tidak
mengherankan keputusan Spalletti mencadangkan Totti mendatangkan kemurkaan
banyak pendukung Roma. Totti sudah dianggap sebagai Roma itu sendiri, begitu
pula sebaliknya, Roma adalah Totti!
Kontroversi tersebut diperparah dengan pemberitaan
dari media yang menyatakan bahwa ada konflik internal antara Sang Raja Roma
dengan manajemen klub. Hasrat Totti untuk terus bermain sepak bola tidak
didukung oleh manajemen Roma, tidak hanya jarang diturunkan di pertandingan
Roma, bahkan untuk urusan kontrak sebagai pemain yang akan habis di tahun 2016
ini pun masih diperdebatkan. Manajemen mempertimbangkan usia Totti yang sudah
mencapai angka 39 tahun tentu akan menjadi penghalang bagi kebugaran fisik sang
pemain, belum lagi ketidakbersediaan Totti untuk sekedar penghangat bangku
cadangan Roma. Manajemen dilanda kebingungan, sehingga membujuk Totti untuk
menerima tawaran masuk jajaran manajemen klub dan memutuskan untuk menjadikan
data statistik sebagai salah satu pertimbangan merekrut dan memperpanjang
kontrak pemain. Totti berang dan menganggap manajemen sudah tidak
menghormatinya dan dedikasi yang telah ia berikan kepada klub. Di sisi lain,
pelatih juga tidak menjamin Totti akan menjadi pemain inti.
Pemberitaan-pemberitaan media yang berkembang
semakin memanaskan suasana. Menjelang Derby
Della Capitale (DDC) yang mempertemukan AS Roma dengan seteru abadi nya, SS
Lazio, mulai beredar desas-desus bahwa ini akan menjadi DDC terakhir bagi
Totti. Itu pun kalau ia diturunkan pelatih ke dalam lapangan. Sebagian
Romanisti meyakini, bahwa pelatih akan memahami hal itu dan akan menurunkan
kapten klub tersebut meskipun sebagai pemain pengganti untuk menghormati sang
pemain. Terlebih tidak ada yang menjamin Totti masih akan berada di Olimpico
musim depan.
Keyakinan akan diturunkannya Totti pada laga panas
tersebut (4/4/2016) semakin menguat ketika Edin Dzeko berhasil menambah
keunggulan AS Roma menjadi 0-2, sehingga klub berada di atas angin untuk meraih
3 poin. Totti pun mulai melakukan pemanasan di pinggir lapangan. Namun
keputusan pelatih Roma berkata lain, masuknya Keita Balde dan Miroslav Klose di
kubu Lazio membuat permainan Elang Biru semakin agresif dan cepat. Pertahanan
Roma keteteran dan puncaknya ketika Parolo meneruskan bola sundulan Klose ke
gawang Roma untuk memperkecil skor menjadi 1-2. Di kubu Roma, cederanya
Nainggolan membuat lini tengah Roma tidak seimbang, sehingga pelatih memutuskan
untuk memasukkan Iago Falque dan Ervin Zukanovic untuk memperkuat pertahanan
dan berdampak habisnya kuota pergantian pemain. Kesempatan Totti bermain di DDC
(yang digadang-gadang menjadi) terakhirnya pun pupus. Terlihat guratan
kekecewaan di wajah Totti ketika disorot kamera, begitu pula dengan Romanisti
yang memuja sang kapten.
Kesedihan Romanisti tidak selayaknya terjadi.
Setidaknya Romanisti dapat menemukan satu hal yang berharga pada laga tersebut
selain kemenangan mencolok dengan skor 1-4 atas rival sekota tersebut. Yakni
lahirnya sang (calon) kapten dan (calon) legenda klub, Alessandro Florenzi,
yang mencetak gol terakhir dengan gaya fenomenal namun familiar di memori
pendukung AS Roma. Ya, gol yang dicetak Florenzi tersebut mengingatkan kepada
gol-gol Totti di waktu muda. Gol yang dicetak oleh pemain kelahiran kota Roma
tersebut dilakukan dengan memanfaatkan bola rebound dan kemudian melakukan
tendangan keras mengarah ke sudut kanan gawang Lazio. Romanisti bersorak. Telah
lahir Totti baru dalam diri Florenzi yang sepatutnya tidak membuat Romanisti
bersedih kehilangan sang legenda, sebab akan lahir legenda-legenda baru klub
yang akan membawa AS Roma Berjaya di masa depan. Romanisti patut berharap,
Florenzi akan menjadi penerus tongkat estafet Totti dan De Rossi, yang sudah
diwariskan oleh Gladiator-Gladiator Roma di masa lalu. Romanisti harus
menyadari, bahwa seorang pemain punya masanya tersendiri, dan saat ini adalah
masanya Florenzi (dan tentu saja De Rossi) menjadi simbol kegigihan bertarung ala Gladiator Roma.
Ahmad Rafuan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar