Senin, 03 Februari 2014

Mimi Yang Membuka Mata Kami


Aku sudah biasa menghabiskan weekend di rumah dengan membaca buku atau sekedar browsing internet. Kebetulan hari ini sedang ada gangguan koneksi internet di rumah sehingga membaca buku adalah alternatif terakhir untuk memanfaatkan waktu senggang. Dua hari yang lalu aku baru saja kembali dari aktifitas yang menguras tenaga dan pikiran selama seminggu penuh di Bekasi, sehingga aku tidak ingin membaca buku berat yang kembali menguras otak. Akhirnya kupilih buku bacaan inspiratif yang kudapatkan beberapa waktu yang lalu, Indonesia Berani. Lembar demi lembar kuhabiskan hingga aku sampai pada halaman yang berjudul Menggapai Asa Dalam Gulita.


Pagi yang cerah di Jum’at terakhir bulan November. Aku bersama empat orang temanku menghadiri undangan talkshow Duta Baca di salah satu hotel di Palangkaraya. Kami tiba tepat pukul 8 pagi, sebagaimana waktu yang tertera di undangan. Yang paling menarik perhatian kami dari undangan tersebut adalah nama Andy F. Noya. Ya betul, host program edukatif Kick Andy yang sangat populer akan hadir pada acara itu. Merupakan kesempatan langka bisa bertemu langsung dengannya.

Program Kick Andy memang sangat inspiratif. Seringkali mereka mengundang orang-orang yang mampu menginspirasi orang lain. Pagi itu, mereka mengundang seorang wanita untuk berbagi pengalaman kepada setiap orang yang hadir. Seorang wanita hebat yang mampu menyihir penonton dengan pengalaman penuh inspirasi. Seorang wanita penyandang tunanetra yang mampu meraih gelar Ph.D di luar negeri. Seorang wanita bernama Mimi Mariani Lusli.

Mimi memiliki keterbatasan pada indera penglihatan. Hal ini mulai terjadi sejak usia 10 tahun dan puncaknya Mimi kehilangan penglihatannya sama sekali saat berusia 17 tahun. Pada awalnya kemampuan penglihatan Mimi menurun, namun dia masih mampu melihat. Saat itu Mimi duduk di bangku SD Candranaya, Jakarta Barat. Penglihatan yang mulai kabur membuat Mimi seringkali tidak mampu menjawab pertanyaan di papan tulis. Selain itu, tulisan tangan Mimi juga sangat sulit untuk dibaca. Berbagai masalah menimpa Mimi kecil hingga akhirnya dengan mudah guru SD Mimi menilai bahwa Mimi adalah anak yang “bodoh”[1]. Hal ini disebabkan nilai ulangan Mimi yang jelek, belum lagi kesulitan Mimi mengikuti pelajaran yang diberikan. Perjuangan Mimi kecil sangat berat untuk bisa menyelesaikan pendidikan dasarnya. Hingga akhirnya ia memutuskan keluar dari sekolah tersebut.

7 tahun Mimi tidak bersekolah. Namun hati kecilnya berontak. Dia ingin sekolah. Dia ingin belajar. Dia mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan sebagaimana anak-anak lain mempunyai hak yang sama. “Ada dorongan yang sangat besar bahwa saya perlu belajar, karena saya iri ketika kakak dan adik saya membaca, nulis, bikin PR” ujar Mimi.

Keputusan Mimi untuk kembali bersekolah mengantarkannya ke Sekolah Luar Biasa. Awalnya Mimi mengikuti ujian persamaan SD dan melanjutkannya hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Dia kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pendidikan Guru Santa Maria dan berlanjut ke IKIP Sanata Dharma Yogyakarta. Usai meraih gelar sarjana, Mimi mengambil Master of Sains di Universitas Indonesia. Mimi juga memperoleh beasiswa dari British Council sehingga bisa lulus program Master of International Communication di Leeds University, Inggris. Dan yang terakhir, Mimi mengambil program doktoral di Faculty of Earth and Life Sciences, University of Amsterdam, Belanda.

Mimi mendapatkan banyak sekali pelajaran ketika dia masih bersekolah di Sekolah Luar Biasa. “Teman-teman saya dengan intelektual di bawah rata-rata dan dengan kondisi fisik yang tidak sempurna saja masih punya daya juang hidup. Saya yang hanya dipinjam matanya, masih bisa mendengar, masih bisa ngomong, bisa lari, bisa merintah orang, masa enggak bisa. Saya harus bisa berbuat lebih daripada yang lain” ungkap Mimi.

Perjuangan untuk mendapatkan akses pendidikan sebenarnya sangat berat bagi seorang seperti Mimi. Selain keraguan yang timbul pada institusi pendidikan untuk memberinya kesempatan, keterbatasan fasilitas bagi tunanetra pun menjadi rintangan. Mimi tidak kekurangan akal. Dia meminta bantuan kepada keluarga dan teman-temannya untuk membacakan materi pelajaran. Perlu perjuangan ekstra baginya untuk memperoleh ilmu yang sama dengan yang diperoleh orang lain. Hal ini sangat berbeda ketika Mimi merasakan belajar di luar negeri. Di luar negeri akses terhadap buku-buku untuk tunanetra lebih mudah dan lengkap dibandingkan Indonesia. Selain itu, kesempatan untuk belajar pun diberikan seluas-luasnya kepada penyandang tunanetra sepertinya.

Saat ini Mimi aktif sebagai dosen di beberapa kampus ternama di Jakarta. “Saya tidak ingin terpaku dengan profesi tunanetra yang ada selama ini. Saya kepingin beda. Saya ingin menjadi dosen. Saya ingin membuktikan bahwa tunanetra pun bisa mengajar dan memberikan hal yang lebih baik” jelas Mimi.[2]

Selain menjadi seorang dosen, Mimi pernah aktif di Yayasan Mitra Netra yang bergerak di bidang pengembangan dan pendidikan bagi tunanetra. Selain itu dia juga bergabung dengan Helen Keller International/Indonesia, sebuah organisasi asal Amerika yang mempromosikan upaya-upaya pencegahan kebutaan di dunia termasuk Indonesia. Pada tahun 2009, Mimi mendirikan Mimi Institute yang bertujuan melatih orang normal agar dapat berkomunikasi dengan penyandang tunanetra secara baik dan juga sebaliknya. Pengalaman hidup yang dilalui membuatnya memiliki visi, Mainstreaming Disability for Better Life.


Mimi memberikan inspirasi yang luar biasa bagiku. Dengan keterbatasan yang dimiliki tidak membuatnya patah arang mengejar cita-cita. Lembar Menggapai Asa Dalam Gulita yang kutemukan dalam buku Indonesia Berani[3] mengingatkanku akan sosok hebat seperti Mimi. Mimi mengajarkanku untuk memandang jauh ke depan mengejar cita-cita tanpa mempedulikan rintangan yang ada. Mimi mengajarkanku untuk melihat meskipun aku seorang yang normal sedangkan dia penyandang tunanetra. Mimi mengajarkanku bahwa melihat tidak melulu hanya menggunakan mata. Mimi yang membuka mata kami.

1 Februari 2014 

Ahmad Rafuan
Mahasiswa Jurusan Hukum Perdata Islam
STAIN Palangka Raya 

Mimi Kecil
 
Mimi Berfoto Bersama Para Mahasiswa


[1]Kata ini diucapkan langsung oleh Mimi pada saat berbicara di hadapan penonton yang hadir di Ballroom Swiss Belhotel Danum Palangkaraya, 29 November 2013.
[2]Sebelumnya Mimi sempat bertanya kepada penonton mengenai profesi atau pekerjaan yang umum bagi seorang tunanetra. Mayoritas penonton menjawab tukang pijat. Kemudian Mimi berbicara sebagaimana ungkapan tersebut.
[3]Buku ini kudapatkan saat mengikuti talkshow Duta Baca yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Daerah Kalimantan Tengah. Pada saat itu hadir Andy F. Noya dan Mimi Mariani Lusli yang membagikan pengalaman inspiratif kepada penonton, yang kemudian kutuangkan ke dalam tulisan ini.

Tidak ada komentar: