Aku
sudah biasa menghabiskan weekend di rumah dengan membaca buku atau sekedar
browsing internet. Kebetulan hari ini sedang ada gangguan koneksi internet di
rumah sehingga membaca buku adalah alternatif terakhir untuk memanfaatkan waktu
senggang. Dua hari yang lalu aku baru saja kembali dari aktifitas yang menguras
tenaga dan pikiran selama seminggu penuh di Bekasi, sehingga aku tidak ingin
membaca buku berat yang kembali menguras otak. Akhirnya kupilih buku bacaan
inspiratif yang kudapatkan beberapa waktu yang lalu, Indonesia Berani.
Lembar demi lembar kuhabiskan hingga aku sampai pada halaman yang berjudul Menggapai
Asa Dalam Gulita.
…
Pagi
yang cerah di Jum’at terakhir bulan November. Aku bersama empat orang temanku menghadiri
undangan talkshow Duta Baca di salah satu hotel di Palangkaraya. Kami
tiba tepat pukul 8 pagi, sebagaimana waktu yang tertera di undangan. Yang
paling menarik perhatian kami dari undangan tersebut adalah nama Andy F. Noya.
Ya betul, host program edukatif Kick Andy yang sangat populer akan hadir
pada acara itu. Merupakan kesempatan langka bisa bertemu langsung dengannya.
Program
Kick Andy memang sangat inspiratif. Seringkali mereka mengundang orang-orang
yang mampu menginspirasi orang lain. Pagi itu, mereka mengundang seorang wanita
untuk berbagi pengalaman kepada setiap orang yang hadir. Seorang wanita hebat
yang mampu menyihir penonton dengan pengalaman penuh inspirasi. Seorang wanita
penyandang tunanetra yang mampu meraih gelar Ph.D di luar negeri. Seorang
wanita bernama Mimi Mariani Lusli.
Mimi
memiliki keterbatasan pada indera penglihatan. Hal ini mulai terjadi sejak usia
10 tahun dan puncaknya Mimi kehilangan penglihatannya sama sekali saat berusia
17 tahun. Pada awalnya kemampuan penglihatan Mimi menurun, namun dia masih
mampu melihat. Saat itu Mimi duduk di bangku SD Candranaya, Jakarta Barat.
Penglihatan yang mulai kabur membuat Mimi seringkali tidak mampu menjawab
pertanyaan di papan tulis. Selain itu, tulisan tangan Mimi juga sangat sulit
untuk dibaca. Berbagai masalah menimpa Mimi kecil hingga akhirnya dengan mudah
guru SD Mimi menilai bahwa Mimi adalah anak yang “bodoh”[1]. Hal
ini disebabkan nilai ulangan Mimi yang jelek, belum lagi kesulitan Mimi
mengikuti pelajaran yang diberikan. Perjuangan Mimi kecil sangat berat untuk
bisa menyelesaikan pendidikan dasarnya. Hingga akhirnya ia memutuskan keluar
dari sekolah tersebut.
7
tahun Mimi tidak bersekolah. Namun hati kecilnya berontak. Dia ingin sekolah.
Dia ingin belajar. Dia mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan sebagaimana
anak-anak lain mempunyai hak yang sama. “Ada dorongan yang sangat besar bahwa
saya perlu belajar, karena saya iri ketika kakak dan adik saya membaca, nulis,
bikin PR” ujar Mimi.
Keputusan
Mimi untuk kembali bersekolah mengantarkannya ke Sekolah Luar Biasa. Awalnya
Mimi mengikuti ujian persamaan SD dan melanjutkannya hingga ke jenjang yang
lebih tinggi. Dia kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pendidikan Guru
Santa Maria dan berlanjut ke IKIP Sanata Dharma Yogyakarta. Usai meraih gelar
sarjana, Mimi mengambil Master of Sains di Universitas Indonesia. Mimi juga
memperoleh beasiswa dari British Council sehingga bisa lulus program Master of
International Communication di Leeds University, Inggris. Dan yang terakhir,
Mimi mengambil program doktoral di Faculty of Earth and Life Sciences,
University of Amsterdam, Belanda.
Mimi
mendapatkan banyak sekali pelajaran ketika dia masih bersekolah di Sekolah Luar
Biasa. “Teman-teman saya dengan intelektual di bawah rata-rata dan dengan
kondisi fisik yang tidak sempurna saja masih punya daya juang hidup. Saya yang
hanya dipinjam matanya, masih bisa mendengar, masih bisa ngomong, bisa lari,
bisa merintah orang, masa enggak bisa. Saya harus bisa berbuat lebih daripada
yang lain” ungkap Mimi.
Perjuangan
untuk mendapatkan akses pendidikan sebenarnya sangat berat bagi seorang seperti
Mimi. Selain keraguan yang timbul pada institusi pendidikan untuk memberinya
kesempatan, keterbatasan fasilitas bagi tunanetra pun menjadi rintangan. Mimi
tidak kekurangan akal. Dia meminta bantuan kepada keluarga dan teman-temannya
untuk membacakan materi pelajaran. Perlu perjuangan ekstra baginya untuk
memperoleh ilmu yang sama dengan yang diperoleh orang lain. Hal ini sangat
berbeda ketika Mimi merasakan belajar di luar negeri. Di luar negeri akses
terhadap buku-buku untuk tunanetra lebih mudah dan lengkap dibandingkan
Indonesia. Selain itu, kesempatan untuk belajar pun diberikan seluas-luasnya
kepada penyandang tunanetra sepertinya.
Saat
ini Mimi aktif sebagai dosen di beberapa kampus ternama di Jakarta. “Saya tidak
ingin terpaku dengan profesi tunanetra yang ada selama ini. Saya kepingin beda.
Saya ingin menjadi dosen. Saya ingin membuktikan bahwa tunanetra pun bisa
mengajar dan memberikan hal yang lebih baik” jelas Mimi.[2]
Selain
menjadi seorang dosen, Mimi pernah aktif di Yayasan Mitra Netra yang bergerak
di bidang pengembangan dan pendidikan bagi tunanetra. Selain itu dia juga
bergabung dengan Helen Keller International/Indonesia, sebuah organisasi asal
Amerika yang mempromosikan upaya-upaya pencegahan kebutaan di dunia termasuk
Indonesia. Pada tahun 2009, Mimi mendirikan Mimi Institute yang bertujuan
melatih orang normal agar dapat berkomunikasi dengan penyandang tunanetra
secara baik dan juga sebaliknya. Pengalaman hidup yang dilalui membuatnya
memiliki visi, Mainstreaming Disability for Better Life.
…
Mimi
memberikan inspirasi yang luar biasa bagiku. Dengan keterbatasan yang dimiliki
tidak membuatnya patah arang mengejar cita-cita. Lembar Menggapai Asa Dalam
Gulita yang kutemukan dalam buku Indonesia Berani[3]
mengingatkanku akan sosok hebat seperti Mimi. Mimi mengajarkanku untuk
memandang jauh ke depan mengejar cita-cita tanpa mempedulikan rintangan yang
ada. Mimi mengajarkanku untuk melihat meskipun aku seorang yang normal
sedangkan dia penyandang tunanetra. Mimi mengajarkanku bahwa melihat tidak
melulu hanya menggunakan mata. Mimi yang membuka mata kami.
1 Februari 2014
Ahmad Rafuan
Mahasiswa Jurusan Hukum Perdata Islam
STAIN Palangka Raya
![]() |
Mimi Kecil |
[2]Sebelumnya Mimi sempat bertanya
kepada penonton mengenai profesi atau pekerjaan yang umum bagi seorang tunanetra.
Mayoritas penonton menjawab tukang pijat. Kemudian Mimi berbicara sebagaimana
ungkapan tersebut.
[3]Buku ini kudapatkan saat
mengikuti talkshow Duta Baca yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Daerah
Kalimantan Tengah. Pada saat itu hadir Andy F. Noya dan Mimi Mariani Lusli yang
membagikan pengalaman inspiratif kepada penonton, yang kemudian kutuangkan ke
dalam tulisan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar