Rabu, 29 Januari 2014

Kenteng Dan Munculnya Bibit Kekeluargaan


Suara azan subuh terdengar bersahutan dari berbagai sudut dusun Kenteng. Kebanyakan suara azan tersebut berasal dari masjid di luar dusun Kenteng, sebab masjid di dusun Kenteng dapat dihitung dengan jari. Aku bangun seperti biasanya pada jam 4, sebelum waktu sholat subuh tiba. Aku tidak ingin membangunkan keluarga Pak Sutimin sehingga aku menghabiskan waktu selama 2 jam dengan membuat jurnal dan membaca buku di dalam kamar saja. Sekitar jam 6, baru aku keluar dari kamar setelah aku mendengar bunyi aktifitas di ruang tamu dan di dapur.

Cuaca di dusun Kenteng sangat sejuk. Pohon-pohon rindang nan tinggi menghiasi setiap jengkal tanah. Kota Salatiga melalui dusun ini dijadikan sebagai kota seribu pohon. Dalam waktu yang tidak terlalu lama selalu datang bantuan bibit-bibit tanaman yang diberikan pemerintah kepada kelompok tani setempat. Sebagian besar penduduk dusun Kenteng memang berprofesi sebagai petani.

Pagi itu, aku dan keluarga Pak Sutimin kembali melanjutkan perbincangan tadi malam. Mulai dari hal-hal yang agak ringan sampai kepada yang sedikit lebih serius, mulai dari perbandingan kota Palangkaraya dan kota Salatiga, mulai dari kehidupan bertetangga hingga kehidupan beragama. Mereka adalah keluarga yang sangat baik. Pak Sutimin menceritakan bahwa beliau pernah tinggal di rumah orang yang sebelumnya tidak ia kenal di Bali selama beberapa waktu. Dengan semangatnya, beliau mengatakan bahwa ia terinspirasi dengan sambutan yang baik yang beliau terima pada saat itu. Kehadiranku beliau anggap mampu mengembalikan semangatnya saat berusia muda. Tidak ada sekat pembatas bagi kami untuk saling bertukar cerita.

Sangat disayangkan, waktu yang diberikan kepada kami sangat sedikit. Jam 8 aku sudah harus kembali ke GKJ Sidomukti. Aku berpamitan dengan semua anggota keluarga Pak Sutimin. Dengan berat hati mereka melepas kepergianku. Mereka mengatakan bahwa suatu saat nanti aku harus kembali ke Salatiga dan mengunjungi mereka. Pak Sutimin mengantarkanku ke GKJ Sidomukti menggunakan sepeda motor. Di tengah perjalanan beliau membelikanku 3 bungkus ting-ting kacang khas Salatiga sebagai bekal perjalanan. Aku sangat berterima kasih kepada Pak Sutimin dan keluarga yang dengan baik hati menerima bahkan menganggapku sebagai anggota keluarga baru disana. 1 hari sudah cukup bagi kami untuk membuat ikatan kekeluargaan baru atas nama kemanusiaan.

Dari GKJ Sidomukti Menuju Pesantren Edi Mancoro

Seperti biasa, keseharian program IYP diisi dengan berbagai macam kegiatan, salah satunya diskusi tentang berbagai topik. Hari ini topik yang akan kami diskusikan adalah pernikahan selen atau pernikahan beda agama. Pembicara kali ini merupakan seorang pemuka agama Kristen, pendeta Eben, yang sekarang sedang menempuh pendidikan di Belanda. Dengan menggunakan video call dan ditampilkan di layar proyektor, Pak Eben mulai menjelaskan mengenai pernikahan beda agama. Pak Eben merupakan pendeta di GKJ Sidomukti, Salatiga. GKJ Sidomukti merupakan satu dari sedikit gereja yang mau dan berani menikahkan pasangan beda agama. Tak heran, banyak pasangan-pasangan beda agama berdatangan untuk minta dinikahkan disana.

Pada jam 11, materi pernikahan beda agama sudah selesai berikut pertanyaan yang dilontarkan oleh peserta. Kami bergegas menuju Pesantren Edi Mancoro, tempat persinggahan kami selanjutnya. Pesantren Edi Mancoro bertempat tidak jauh dari pusat kota Salatiga, sehingga kami tidak memerlukan banyak waktu untuk sampai disana. Setelah sampai di pesantren Edi Mancoro, aku bersiap-siap menuju masjid untuk menunaikan sholat jum’at. Betapa terkejutnya aku ketika mendapati beberapa peserta IYP yang non-muslim juga telah siap berangkat ke masjid, lengkap dengan atribut khas santri berupa peci dan sarung. Usut punya usut, mereka mereka mendapatkan peci dan sarung tersebut dari para santri di Pesantren Edi Mancoro, sehari sebelumnya.

Awalnya aku mengira mereka hanya ingin ikut pergi ke masjid dan mengobservasi pelaksanaan sholat jum’at disana. Tapi siapa sangka ternyata lebih dari itu! Diawali keinginan mereka untuk minta diajari cara berwudhu kepada peserta IYP laki-laki yang muslim. Satu per satu mengikuti instruksi salah seorang peserta IYP yang muslim sambil bertanya apa tujuan dari setiap gerakan wudhu. Setelah selesai kami semua masuk ke dalam masjid dan mereka pun, peserta IYP non-muslim, ikut masuk. Saat salah seorang peserta IYP sholat sunnah di teras masjid, beberapa peserta IYP yang non-muslim pun ikut sholat sunnah di sampingnya dan sesekali menoleh ke arahnya untuk mengikuti gerakan sholatnya. Aku tidak terlalu memperhatikan mereka lagi setelah aku masuk ke dalam masjid dan mengambil shaf nomor 2 dari depan. Belakangan aku mengetahui bahwa mereka semua, peserta IYP non-muslim, ikut melaksanakan sholat jum’at bersama peserta IYP lainnya yang beragama Islam di teras masjid.

Bersinarlah Kebaikan!

Selesai sholat jum’at kami bertamu ke rumah kyai Mahfudz Ridwan, pendiri Pesantren Edi Mancoro. Kami disambut oleh Gus Hanif, putra sekaligus penerus Kyai Mahfudz dalam mengelola pesantren tersebut. Gus Hanif selain mengelola pesantren Edi Mancoro juga merupakan seorang dosen di STAIN Salatiga. Tidak butuh waktu lama akhirnya aku memahami kenapa sebagian peserta IYP menyebut pesantren ini sebagai pesantren Rock N’ Roll. Di samping memang Gus Hanif sendiri selaku salah satu pengelola merupakan orang yang supel dan gaul namun tetap bersahaja. Selain itu sebagian santri dan santriwati yang ada disini juga supel dan gaul layaknya panutan mereka Gus Hanif.

Tidak berapa lama Kyai Mahfudz kembali dari masjid dan kami langsung berdiri menyambut kedatangannya di rumahnya sendiri. Beberapa peserta IYP terlibat perbincangan dengan beliau. Sedangkan aku berbincang-bincang dengan peserta IYP lainnya hingga waktu makan siang tiba. Kami makan siang di rumah kyai Mahfudz.

Selesai makan siang kami kembali ke aula pesantren karena sesi diskusi akan segera dimulai. Gus Hanif akan menjadi narasumber dengan materi sejarah dan visi misi pengembangan Pesantren Edi Mancoro. Layaknya pesantren lainnya, Edi Mancoro juga mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam, bahasa Arab, dan kesenian-kesenian Islam. Namun ada satu hal yang menarik pada sejarah pesantren ini. Edi Mancoro pernah menjadi venue pertemuan 15 orang kyai dan 15 orang pendeta untuk membahas perdamaian antar agama di Salatiga. Pertemuan ini adalah cikal bakal dari hubungan harmonis antara pemeluk agama Islam dan Kristen di tanah Salatiga, selain juga menginspirasi lahirnya gerakan Sobat Salatiga. Selain itu, ada sebuah gagasan kontroversial yang berasal dari pesantren ini, yakni membolehkan non-muslim untuk ikut melaksanakan sholat jum’at.

Edi Mancoro merupakan nama yang dipilih oleh kyai Mahfudz untuk pesantren yang dibangunnya. Edi artinya bagus dan elok sedangkan Mancoro berarti bersinarlah. Melalui nama ini terbangun arah dan tujuan pengembangan pesantren tersebut.

Budaya Dari Penjuru Negeri

Sore itu kami dengan dipandu oleh Bu Yani, salah seorang fasilitator, melaksanakan dengar refleksi atas kegiatan live-in yang kami lakukan sebelumnya. Beberapa peserta IYP yang merasa memiliki cerita menarik pada saat bersama induk semang mengacungkan jari untuk membagikan cerita tersebut kepada peserta dan panitia IYP. Tidak terkecuali aku yang juga berkeinginan menceritakan pengalamanku yang kedua live-in di rumah keluarga kristiani. Setelah selesai, kami melakukan persiapan untuk penampilan cultural performance yang akan kami laksanakan malam harinya di aula pesantren Edi Mancoro dengan dihadiri oleh jemaat GKJ Sidomukti, termasuk keluarga induk semang seluruh peserta IYP.

Awalnya aku cukup bingung ingin menampilkan apa. Terlebih kurangnya persiapan yang kumiliki. Aku sempat berkeinginan untuk menampilkan tari manasai khas Kalimantan Tengah, namun niat itu kuurungkan karena aku tidak mempunyai pakaian yang representatif Kalimantan Tengah serta lagu pengiringnya. Akhirnya kuputuskan tidak menampilkan apa-apa, namun aku berinisiatif mengambil tugas sebagai MC pada cultural performance.

Malam itu aku menjadi MC yang akan memandu jalannya cultural performance bersama dengan Mel, peserta IYP asal Lombok. Para peserta IYP berlomba-lomba menampilkan keindahan dan keunikan kesenian yang ada di berbagai sudut negeri ini. Dibuka dengan tari tor-tor, yang kemudian silih berganti ditampilkan kesenian seperti tari Aceh, tari kontemporer (gabungan yoga dan tari tradisional), poco-poco, puisi, dan nyanyian lagu-lagu daerah. Setiap menitnya penonton yang hadir dibuat berdecak kagum dengan penampilan malam itu. Aku sendiri setengah tidak percaya, dengan minimnya waktu persiapan, kurang dari 3 jam, kami dapat menyuguhkan cultural performance yang luar biasa dan layak mendapatkan pujian. Dan satu pendapat subjektifku, bahwa penampilan paling spektakuler pada malam itu adalah tari kontemporer yang ditampilkan oleh Puji dan Halimah, tanpa menafikan bagusnya performance yang lain. Puji yang berasal dari Bali dan menguasai yoga bersama dengan Halimah, peserta IYP asal Jawa Timur, menampilkan performance yang luar biasa yang mereka namakan tari kontemporer, yakni gabungan antara yoga dan tari tradisional. Mereka berhasil menampilkan gerakan-gerakan indah namun berisiko tinggi, tapi inilah yang membuat penampilan mereka pada malam itu pantas diberikan applause meriah, di samping persiapan mereka yang hanya 3 jam saja.

Cultural performance selesai pada saat jam dinding hampir menunjukkan pukul 10 malam. Meskipun begitu antusiasme hadirin tidak berkurang sedikitpun selama kami menampilkan performance tersebut. Di akhir acara kami berfoto bersama dengan seluruh hadirin. Inilah yang akan selalu kami kenang, bahkan mungkin mereka kenang, santri dan santriwati serta pengurus Edi Mancoro, jemaat GKJ Sidomukti, induk semang, dan seluruh hadirin pada malam itu.

Dengan kondisi cukup lelah kami masih memiliki semangat tinggi untuk melanjutkan pilgrimage pada malam itu. Kami meninggalkan pesantren Edi Mancoro dengan berat hati menuju Wisma Salib Putih, masih di kota Salatiga. Kami tiba di Salib Putih pada pukul 11 malam. Salib Putih adalah wisma sekaligus agrowisata yang terletak di perbukitan di kota Salatiga. Oleh sebab itu, pemandangan malam hari dari lantai 3 Salib Putih sangat indah. Mengamati kerlap-kerlip cahaya kota Salatiga pada malam hari dari atas, dataran yang cukup tinggi.

…Bersambung…

15 November 2013

Ahmad Rafuan
Mahasiswa Program Studi Hukum Perdata Islam STAIN Palangka Raya
Alumni Interfaith Youth Pilgrimage 2013

Tidak ada komentar: