Suara
azan subuh terdengar bersahutan dari berbagai sudut dusun Kenteng. Kebanyakan
suara azan tersebut berasal dari masjid di luar dusun Kenteng, sebab masjid di
dusun Kenteng dapat dihitung dengan jari. Aku bangun seperti biasanya pada jam
4, sebelum waktu sholat subuh tiba. Aku tidak ingin membangunkan keluarga Pak
Sutimin sehingga aku menghabiskan waktu selama 2 jam dengan membuat jurnal dan
membaca buku di dalam kamar saja. Sekitar jam 6, baru aku keluar dari kamar
setelah aku mendengar bunyi aktifitas di ruang tamu dan di dapur.
Cuaca
di dusun Kenteng sangat sejuk. Pohon-pohon rindang nan tinggi menghiasi setiap
jengkal tanah. Kota Salatiga melalui dusun ini dijadikan sebagai kota seribu
pohon. Dalam waktu yang tidak terlalu lama selalu datang bantuan bibit-bibit
tanaman yang diberikan pemerintah kepada kelompok tani setempat. Sebagian besar
penduduk dusun Kenteng memang berprofesi sebagai petani.
Pagi
itu, aku dan keluarga Pak Sutimin kembali melanjutkan perbincangan tadi malam.
Mulai dari hal-hal yang agak ringan sampai kepada yang sedikit lebih serius,
mulai dari perbandingan kota Palangkaraya dan kota Salatiga, mulai dari
kehidupan bertetangga hingga kehidupan beragama. Mereka adalah keluarga yang
sangat baik. Pak Sutimin menceritakan bahwa beliau pernah tinggal di rumah
orang yang sebelumnya tidak ia kenal di Bali selama beberapa waktu. Dengan
semangatnya, beliau mengatakan bahwa ia terinspirasi dengan sambutan yang baik
yang beliau terima pada saat itu. Kehadiranku beliau anggap mampu mengembalikan
semangatnya saat berusia muda. Tidak ada sekat pembatas bagi kami untuk saling
bertukar cerita.
Sangat
disayangkan, waktu yang diberikan kepada kami sangat sedikit. Jam 8 aku sudah
harus kembali ke GKJ Sidomukti. Aku berpamitan dengan semua anggota keluarga
Pak Sutimin. Dengan berat hati mereka melepas kepergianku. Mereka mengatakan
bahwa suatu saat nanti aku harus kembali ke Salatiga dan mengunjungi mereka.
Pak Sutimin mengantarkanku ke GKJ Sidomukti menggunakan sepeda motor. Di tengah
perjalanan beliau membelikanku 3 bungkus ting-ting kacang khas Salatiga sebagai
bekal perjalanan. Aku sangat berterima kasih kepada Pak Sutimin dan keluarga
yang dengan baik hati menerima bahkan menganggapku sebagai anggota keluarga
baru disana. 1 hari sudah cukup bagi kami untuk membuat ikatan kekeluargaan
baru atas nama kemanusiaan.
Dari
GKJ Sidomukti Menuju Pesantren Edi Mancoro
Seperti
biasa, keseharian program IYP diisi dengan berbagai macam kegiatan, salah
satunya diskusi tentang berbagai topik. Hari ini topik yang akan kami
diskusikan adalah pernikahan selen atau pernikahan beda agama. Pembicara kali
ini merupakan seorang pemuka agama Kristen, pendeta Eben, yang sekarang sedang
menempuh pendidikan di Belanda. Dengan menggunakan video call dan ditampilkan
di layar proyektor, Pak Eben mulai menjelaskan mengenai pernikahan beda agama.
Pak Eben merupakan pendeta di GKJ Sidomukti, Salatiga. GKJ Sidomukti merupakan
satu dari sedikit gereja yang mau dan berani menikahkan pasangan beda agama.
Tak heran, banyak pasangan-pasangan beda agama berdatangan untuk minta
dinikahkan disana.
Pada
jam 11, materi pernikahan beda agama sudah selesai berikut pertanyaan yang
dilontarkan oleh peserta. Kami bergegas menuju Pesantren Edi Mancoro, tempat
persinggahan kami selanjutnya. Pesantren Edi Mancoro bertempat tidak jauh dari
pusat kota Salatiga, sehingga kami tidak memerlukan banyak waktu untuk sampai
disana. Setelah sampai di pesantren Edi Mancoro, aku bersiap-siap menuju masjid
untuk menunaikan sholat jum’at. Betapa terkejutnya aku ketika mendapati
beberapa peserta IYP yang non-muslim juga telah siap berangkat ke masjid,
lengkap dengan atribut khas santri berupa peci dan sarung. Usut punya usut, mereka
mereka mendapatkan peci dan sarung tersebut dari para santri di Pesantren Edi
Mancoro, sehari sebelumnya.
Awalnya
aku mengira mereka hanya ingin ikut pergi ke masjid dan mengobservasi
pelaksanaan sholat jum’at disana. Tapi siapa sangka ternyata lebih dari itu!
Diawali keinginan mereka untuk minta diajari cara berwudhu kepada peserta IYP
laki-laki yang muslim. Satu per satu mengikuti instruksi salah seorang peserta
IYP yang muslim sambil bertanya apa tujuan dari setiap gerakan wudhu. Setelah
selesai kami semua masuk ke dalam masjid dan mereka pun, peserta IYP
non-muslim, ikut masuk. Saat salah seorang peserta IYP sholat sunnah di teras
masjid, beberapa peserta IYP yang non-muslim pun ikut sholat sunnah di
sampingnya dan sesekali menoleh ke arahnya untuk mengikuti gerakan sholatnya.
Aku tidak terlalu memperhatikan mereka lagi setelah aku masuk ke dalam masjid
dan mengambil shaf nomor 2 dari depan. Belakangan aku mengetahui bahwa mereka
semua, peserta IYP non-muslim, ikut melaksanakan sholat jum’at bersama peserta
IYP lainnya yang beragama Islam di teras masjid.
Bersinarlah
Kebaikan!
Selesai
sholat jum’at kami bertamu ke rumah kyai Mahfudz Ridwan, pendiri Pesantren Edi
Mancoro. Kami disambut oleh Gus Hanif, putra sekaligus penerus Kyai Mahfudz
dalam mengelola pesantren tersebut. Gus Hanif selain mengelola pesantren Edi
Mancoro juga merupakan seorang dosen di STAIN Salatiga. Tidak butuh waktu lama
akhirnya aku memahami kenapa sebagian peserta IYP menyebut pesantren ini
sebagai pesantren Rock N’ Roll. Di samping memang Gus Hanif sendiri selaku
salah satu pengelola merupakan orang yang supel dan gaul namun tetap bersahaja.
Selain itu sebagian santri dan santriwati yang ada disini juga supel dan gaul
layaknya panutan mereka Gus Hanif.
Tidak
berapa lama Kyai Mahfudz kembali dari masjid dan kami langsung berdiri
menyambut kedatangannya di rumahnya sendiri. Beberapa peserta IYP terlibat
perbincangan dengan beliau. Sedangkan aku berbincang-bincang dengan peserta IYP
lainnya hingga waktu makan siang tiba. Kami makan siang di rumah kyai Mahfudz.
Selesai
makan siang kami kembali ke aula pesantren karena sesi diskusi akan segera
dimulai. Gus Hanif akan menjadi narasumber dengan materi sejarah dan visi misi
pengembangan Pesantren Edi Mancoro. Layaknya pesantren lainnya, Edi Mancoro
juga mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam, bahasa Arab, dan kesenian-kesenian
Islam. Namun ada satu hal yang menarik pada sejarah pesantren ini. Edi Mancoro
pernah menjadi venue pertemuan 15 orang kyai dan 15 orang pendeta untuk
membahas perdamaian antar agama di Salatiga. Pertemuan ini adalah cikal bakal
dari hubungan harmonis antara pemeluk agama Islam dan Kristen di tanah
Salatiga, selain juga menginspirasi lahirnya gerakan Sobat Salatiga. Selain
itu, ada sebuah gagasan kontroversial yang berasal dari pesantren ini, yakni
membolehkan non-muslim untuk ikut melaksanakan sholat jum’at.
Edi
Mancoro merupakan nama yang dipilih oleh kyai Mahfudz untuk pesantren yang
dibangunnya. Edi artinya bagus dan elok sedangkan Mancoro berarti bersinarlah.
Melalui nama ini terbangun arah dan tujuan pengembangan pesantren tersebut.
Budaya
Dari Penjuru Negeri
Sore
itu kami dengan dipandu oleh Bu Yani, salah seorang fasilitator, melaksanakan
dengar refleksi atas kegiatan live-in yang kami lakukan sebelumnya. Beberapa
peserta IYP yang merasa memiliki cerita menarik pada saat bersama induk semang
mengacungkan jari untuk membagikan cerita tersebut kepada peserta dan panitia
IYP. Tidak terkecuali aku yang juga berkeinginan menceritakan pengalamanku yang
kedua live-in di rumah keluarga kristiani. Setelah selesai, kami
melakukan persiapan untuk penampilan cultural performance yang akan kami
laksanakan malam harinya di aula pesantren Edi Mancoro dengan dihadiri oleh
jemaat GKJ Sidomukti, termasuk keluarga induk semang seluruh peserta IYP.
Awalnya
aku cukup bingung ingin menampilkan apa. Terlebih kurangnya persiapan yang
kumiliki. Aku sempat berkeinginan untuk menampilkan tari manasai khas
Kalimantan Tengah, namun niat itu kuurungkan karena aku tidak mempunyai pakaian
yang representatif Kalimantan Tengah serta lagu pengiringnya. Akhirnya
kuputuskan tidak menampilkan apa-apa, namun aku berinisiatif mengambil tugas
sebagai MC pada cultural performance.
Malam
itu aku menjadi MC yang akan memandu jalannya cultural performance
bersama dengan Mel, peserta IYP asal Lombok. Para peserta IYP berlomba-lomba
menampilkan keindahan dan keunikan kesenian yang ada di berbagai sudut negeri
ini. Dibuka dengan tari tor-tor, yang kemudian silih berganti ditampilkan
kesenian seperti tari Aceh, tari kontemporer (gabungan yoga dan tari
tradisional), poco-poco, puisi, dan nyanyian lagu-lagu daerah. Setiap menitnya
penonton yang hadir dibuat berdecak kagum dengan penampilan malam itu. Aku
sendiri setengah tidak percaya, dengan minimnya waktu persiapan, kurang dari 3
jam, kami dapat menyuguhkan cultural performance yang luar biasa dan
layak mendapatkan pujian. Dan satu pendapat subjektifku, bahwa penampilan
paling spektakuler pada malam itu adalah tari kontemporer yang ditampilkan oleh
Puji dan Halimah, tanpa menafikan bagusnya performance yang lain. Puji
yang berasal dari Bali dan menguasai yoga bersama dengan Halimah, peserta IYP
asal Jawa Timur, menampilkan performance yang luar biasa yang mereka
namakan tari kontemporer, yakni gabungan antara yoga dan tari tradisional.
Mereka berhasil menampilkan gerakan-gerakan indah namun berisiko tinggi, tapi
inilah yang membuat penampilan mereka pada malam itu pantas diberikan applause
meriah, di samping persiapan mereka yang hanya 3 jam saja.
Cultural
performance selesai pada saat jam dinding hampir
menunjukkan pukul 10 malam. Meskipun begitu antusiasme hadirin tidak berkurang
sedikitpun selama kami menampilkan performance tersebut. Di akhir acara
kami berfoto bersama dengan seluruh hadirin. Inilah yang akan selalu kami
kenang, bahkan mungkin mereka kenang, santri dan santriwati serta pengurus Edi
Mancoro, jemaat GKJ Sidomukti, induk semang, dan seluruh hadirin pada malam
itu.
Dengan
kondisi cukup lelah kami masih memiliki semangat tinggi untuk melanjutkan pilgrimage
pada malam itu. Kami meninggalkan pesantren Edi Mancoro dengan berat hati
menuju Wisma Salib Putih, masih di kota Salatiga. Kami tiba di Salib Putih pada
pukul 11 malam. Salib Putih adalah wisma sekaligus agrowisata yang terletak di
perbukitan di kota Salatiga. Oleh sebab itu, pemandangan malam hari dari lantai
3 Salib Putih sangat indah. Mengamati kerlap-kerlip cahaya kota Salatiga pada
malam hari dari atas, dataran yang cukup tinggi.
…Bersambung…
15
November 2013
Ahmad Rafuan
Mahasiswa Program Studi Hukum Perdata Islam STAIN Palangka Raya
Alumni Interfaith Youth Pilgrimage 2013
Mahasiswa Program Studi Hukum Perdata Islam STAIN Palangka Raya
Alumni Interfaith Youth Pilgrimage 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar