Minggu, 03 Agustus 2014

Eksplorasi Petualangan

Wisma Salib Putih, Wisma 7 Gunung yang Terletak di Dataran Tinggi
Aku bangun tidak terlalu pagi hari itu. Bahkan aku masih merasa cukup ngantuk sebab aku begadang pada malam harinya. Untuk mengatasinya aku mencoba mencuci muka berulang kali. Aku tidak boleh bermalas-malasan. Aku tidak boleh membuang-buang waktu di tempat seindah Wisma Salib Putih, tempat aku menginap, hanya dengan tidur-tiduran saja. Aku harus melakukan ritual rutinan seorang petualang ketika menjejakkan kaki di tempat baru, mengambil foto sebanyak-banyaknya. Terlebih sekarang aku berada di sebuah tempat yang sangat indah dan banyak dikunjungi orang, Wisma Salib Putih.

Wisma Salib Putih adalah sebuah tempat penginapan yang berada di dataran tinggi, dekat dengan kota Salatiga. Tempat ini sangat terkenal sebagai tempat agrowisata. Keindahan nilai-nilai arsitektur yang terkandung dipadu dengan latar tempat yang mengagumkan. Kita bisa melihat kota Salatiga dan beberapa kota sekitar dari tempat ini. Kita juga bisa menyaksikan keindahan gunung-gunung yang berjejer. Ada gunung Lawu, Merbabu, Merapi, dan masih banyak gunung-gunung lainnya yang dapat disaksikan dari tempat ini. Tentu saja aku tidak boleh melewatkan untuk mengambil objek foto sebanyak-banyaknya. Aku berkeliling ke beberapa sudut Salib Putih seperti kolam renang, taman bermain anak, taman air mancur, dan pemandangan gunung-gunung yang dapat ditangkap di beberapa titik tertentu di Salib Putih.

Pemandangan Wisma Salib Putih yang Sangat Menyegarkan Mata
Aku bertemu dengan Tirta dan Marsini, dua peserta IYP, yang kemudian mengajakku untuk mengeksplor Salib Putih lebih jauh. Kami mendatangi tempat-tempat yang sebelumnya tidak kuketahui juga tersedia di Salib Putih seperti bumi perkemahan, kebun kopi, dan kandang sapi perah, bermodalkan penunjuk arah yang ada disana. Salib Putih memang benar-benar tempat agrowisata yang patut dipertimbangkan sebagai tempat berlibur!
Puas menjelajah Salib Putih, rasa haus dan lapar menderaku. Beruntung waktu sarapan telah tiba ketika aku datang ke gedung utama wisma Salib Putih. Sarapan pagi itu sungguh enak, mungkin karena efek rasa lapar XD. Aku menghabiskan beberapa potong ayam yang menurutku sangat gurih, dengan tekstur daging yang lembut di lidah. Meskipun aku bukan seorang pengamat kuliner yang bisa menilai kualitas sebuah masakan, tapi cita rasa yang hadir pada pagi itu sungguh cocok di lidahku. Sarapan pertama selesai.
Karyawan Wisma Salib Putih Sedang Bekerja
Aku kembali ke kamar yang disediakan untuk kami. Di wisma Salib Putih aku berbagi kamar dengan Jons, Agus, dan Jerry. Jerry adalah seorang kameramen program IYP, jadi berbeda dengan kami bertiga, dia bukan peserta IYP, meskipun dia sudah membaur dengan kami layaknya seorang peserta IYP. Mereka belum sarapan dan mereka kembali mengajakku ke dining room untuk sarapan. Tentu kesempatan ini tidak akan kutolak, karena aku sangat menyukai menu yang tersedia di ruang makan. Aku bahkan jadi memiliki alibi menemani mereka sarapan, sehingga aku bisa makan kembali XD.
Opor Ayam dan Segelas Teh Hangat Menemani Pagiku
Bus Yang Menemani Menuju Kopeng

Pagi itu kami berkumpul di ruang pertemuan yang disediakan wisma Salib Putih membahas jurnal yang menjadi tugas kami selama mengikuti program IYP. Selama mengikuti program IYP kami diwajibkan membuat jurnal harian dan photo stories. Selain itu, masing-masing dari kami juga diminta membuat sebuah feature untuk disatukan dan dibuat menjadi sebuah buku. Tulisan ini merupakan salah satu dari rangkaian jurnal yang kubuat selama mengikuti program IYP.

Kami sudah harus meninggalkan wisma Salib Putih sebelum jam 12 siang. Sangat disayangkan kami hanya memiliki beberapa jam saja menikmati keindahan dan ketenangan perbukitan yang disulap menjadi sebuah wisma megah. Tempat ini sangat cocok untuk melepas penat dari aktifitas padat dan menjauh dari kebisingan kota sambil menikmati view keindahan alam yang tersedia.
Terletak di Dataran Tinggi
Di setiap perpindahan tempat kami setia menggunakan bus pariwisata yang disediakan oleh panitia IYP. Bisa dikatakan bus itu adalah rumah kami yang sesungguhnya selama mengikuti program IYP, sebab kami lebih sering berada di dalam bus daripada menetap di satu tempat. Bus itu sudah membuat kami nyaman. Kami lebih banyak menghabiskan waktu bersama di bus tersebut.

Dengan bus itu, kami menuju Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Syailendra yang ada di Kopeng. Kopeng merupakan sebuah daerah yang berada di lereng gunung Merbabu, sehingga dapat dibayangkan kondisi tanah di daerah ini yang tidak rata. Jalan yang kami tempuh pun idem. Naik turun, berkelak-kelok. Kami harus melewati jalan menanjak. Kami juga harus menempuh jalan menurun yang curam, tepat dimana STAB Syailendra berada.
Awal memasuki gedung utama, kami disambut oleh mahasiswa-mahasiswi beserta jajaran dosen STAB Syailendra. Sesi selanjutnya sudah bisa ditebak, diskusi. Diskusi saat itu adalah perkembangan STAB Syailendra sendiri dan ajaran agama Buddha. Yang menjadi pemateri adalah Pak Sunarto, ketua STAB Syailendra yang tidak lain kakak kandung dari Susanto, peserta IYP. Dua orang peserta IYP yakni Susanto dan Subagyo merupakan mahasiswa STAB Syailendra, sehingga kunjungan kali ini bisa diibaratkan pulang ke kandang bagi mereka.

Pada sesi diskusi saat itu, aku melontarkan beberapa pertanyaan untuk memuaskan rasa ingin tahuku tentang ajaran agama Buddha. Ajaran Buddha merupakan ajaran norma, nilai-nilai kebaikan hidup. Ajaran Buddha sama sekali tidak menyentuh ranah transenden, ranah ketuhanan. Dengan alasan logika manusia tidak akan mampu menjangkau aspek ketuhanan sehingga ajaran Buddha bersikap no comment terhadap aspek ini. Ajaran Buddha tidak menentukan siapa Tuhan, seperti apa Tuhan, sifat Tuhan, kekuasaan Tuhan, dan lain sebagainya yang berkenaan dengan ketuhanan, meskipun mereka tetap mengakui “adanya Tuhan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar bagiku. Bagaimana mereka sebagai seorang manusia yang mengakui adanya Tuhan, beribadah kepada-Nya. Sebagai seorang makhluk tentu kita sudah mafhum bahwa kita memerlukan Tuhan sebagai sandaran kehidupan spiritual. Dan hal ini begitu mengganjal di pikiranku, bagaimana sikap penganut ajaran Buddha?

Jawaban yang diberikan kepadaku, secara jujur, tidak membuatku puas. Rasa ingin tahuku yang besar tidak begitu saja terobati dengan jawaban yang diberikan kepadaku. Pada intinya, logika tidak menemukan titik temu antara apa yang kupertanyakan dengan jawaban yang kudapatkan.
Wawan, Salah Satu Peserta IYP, Sedang Memainkan Alat Musik Tradisional
Waktu jua yang akhirnya membatasi seluruh proses yang ada, termasuk diskusi kali itu. Dengan rasa tidak puas aku terpaksa mengikuti kejamnya batasan waktu terhadap rasa ingin tahuku. Sebelum kami meninggalkan STAB Syailendra, terlebih dahulu para mahasiswa di kampus itu menampilkan kesenian tradisional yang juga diajarkan kepada mereka. Mereka menampilkan permainan gamelan yang dipadu dengan nyanyian tradisional setempat. Cukup mengasikkan, padunya permainan gamelan yang mereka suguhkan dan merdunya suara penyanyi membuat kami betah mendengarkan apa yang mereka tampilkan.

Selepas itu kami harus segera meninggalkan Kopeng menuju Magelang. Jalan yang kami tempuh merupakan jalan yang berlika-liku, naik turun, sebab ini adalah lereng gunung. Berulang kali aku maupun Edward, peserta IYP asal Kupang, mencoba mengambil objek foto pegunungan, namun seringkali gagal karena bus yang kami tumpangi segera berbelok ataupun terhalang oleh pepohonan. Setelah perjalanan yang cukup jauh akhirnya kami tiba di kota Magelang dan segera meluncur ke tujuan berikutnya, sebuah desa wisata di sudut Magelang. Di tengah perjalanan kami melewati Candi Mendut. Wow inilah kali pertama aku melihat candi secara langsung. Meskipun kami tidak singgah, namun aku menganggap itu adalah awal petualanganku untuk mengeksplor candi-candi wisata lebih lanjut.

Anak-Anak Jenderal

Kami tiba menjelang petang di desa wisata di kawasan wisata Candi Borobudur, meskipun masih sangat jauh dengan Candi Borobudur itu sendiri. Ketentuan yang diberikan panitia, kami malam itu akan menginap di rumah warga. Sebelumnya kami sudah dibagi menjadi beberapa kelompok dan aku tergabung bersama Jons, Ade, dan Edward untuk tinggal di satu rumah bersama warga setempat. Kami tidak tinggal secara gratis karena warga disitu menyediakan beberapa kamar khusus untuk para wisatawan di dalam rumahnya. Hampir mirip seperti kos-kosan. Hanya saja yang mengurus semua hal itu adalah panitia IYP. Terima kasih untuk panitia penyelenggara IYP J.

Begitu tiba di rumah warga tersebut, yang aku lupa namanya, kami disambut oleh bapak dan ibu pemilik rumah yang bisa dikatakan sudah cukup sepuh. Kesan awal, mereka adalah orang yang baik. Mereka memiliki tiga orang anak yang semuanya sudah tidak tinggal bersama mereka lagi.

Dasar nasib, tiga orang teman yang tinggal denganku malam itu merupakan orang-orang yang kocak abis. Banyak kejadian lucu yang terjadi pada malam itu. Bahkan percakapan kami pertama kali pun sudah mengundang tawa. Adalah Ade, peserta IYP asal Makassar, yang pertama kali membuat malam itu penuh dengan tawa. Setelah meletakkan barang bawaan di kamar, Ade serta merta keluar kamar dan meminta izin untuk merokok kepada bapak dan ibu pemilik rumah. Dengan gaya bicaranya yang khas dan nyaring dia berkata “Pak, Bu, saya izin merokok ya” tepat di belakang mereka berdua. Tentu saja bapak dan ibu pemilik rumah serta merta kaget dan langsung berbalik badan. “Mungkin mereka kaget karena suara Ade seperti sedang membentak” bisikku kepada Jons. Aku, Jons, dan Edward sekuat tenaga menahan ketawa karena hal itu.

Sejak saat itu, Ade seakan apes. Kami mengobrol cukup lama di ruang tamu, tanpa ibu pemilik rumah yang sedang mengerjakan sesuatu di ruang tengah. Jons dan Edward berulang kali menanyakan sesuatu yang kemudian dijawab oleh bapak pemilik rumah. Sementara setiap kali Ade bertanya tidak pernah digubris apalagi dijawab oleh bapak tersebut. Hal ini sekali lagi membuat kami tertawa mengocok perut.
Menunggu Nasi Goreng Siap Disajikan
Banyak hal lainnya yang sangat lucu pada malam itu. Seperti saat Edward menanyakan apakah bapak pemilik rumah sempat merasakan penjajahan Jepang. Beliau menjawab sempat dan beliau berumur tiga tahun pada saat itu. Edward kembali bertanya “bapak dulu ikut perang?” sambil memeragakan gaya menodongkan senjata. Kami tertawa ngakak mendengar pertanyaan itu. Beliau saat itu berumur tiga tahun, kok ditanyakan ikut perang atau tidak XD.

Masih banyak percakapan-percakapan kami malam itu yang apabila diingat selalu membuatku tertawa sendiri. Bahkan terlalu banyak jika harus ditulis seluruhnya. Namun satu hal lain yang juga kembali mengundang tawa apabila diingat, ketika salah seorang dari kami bertanya kepada bapak pemilik rumah, “Jenderal Sudirman berasal dari Magelang kan pak?”, beliau justru menjawab enteng “bukan”. Kami kaget bukan kepalang. Selama ini kami diajarkan melalui pelajaran sejarah bahwa Jenderal Sudirman berasal dari Magelang, kok sekarang sepuh Magelang menjawab bukan. Menyalahkan buku sejarah tidak mungkin, menyalahkan bapak tersebut juga sungkan. Hingga akhirnya Ade kembali nyeletuk dengan gaya khasnya yang lucu, “Jenderal Sudirman kan berasal dari Palangkaraya”. Sebab percakapan itulah kami memberikan gelar Jenderal kepada bapak tersebut. Dan kami berempat adalah anak dari induk semang seorang Jenderal, paling tidak untuk satu malam.

…Bersambung…
16 November 2013

Ahmad Rafuan
Mahasiswa Program Studi Hukum Perdata Islam STAIN Palangka Raya
Alumni Interfaith Youth Pilgrimage 2013

Tidak ada komentar: