Wisma Salib Putih, Wisma 7 Gunung yang Terletak di Dataran Tinggi |
Wisma
Salib Putih adalah sebuah tempat penginapan yang berada di dataran tinggi,
dekat dengan kota Salatiga. Tempat ini sangat terkenal sebagai tempat
agrowisata. Keindahan nilai-nilai arsitektur yang terkandung dipadu dengan
latar tempat yang mengagumkan. Kita bisa melihat kota Salatiga dan beberapa
kota sekitar dari tempat ini. Kita juga bisa menyaksikan keindahan
gunung-gunung yang berjejer. Ada gunung Lawu, Merbabu, Merapi, dan masih banyak
gunung-gunung lainnya yang dapat disaksikan dari tempat ini. Tentu saja aku
tidak boleh melewatkan untuk mengambil objek foto sebanyak-banyaknya. Aku
berkeliling ke beberapa sudut Salib Putih seperti kolam renang, taman bermain
anak, taman air mancur, dan pemandangan gunung-gunung yang dapat ditangkap di
beberapa titik tertentu di Salib Putih.
Aku
bertemu dengan Tirta dan Marsini, dua peserta IYP, yang kemudian mengajakku
untuk mengeksplor Salib Putih lebih jauh. Kami mendatangi tempat-tempat yang
sebelumnya tidak kuketahui juga tersedia di Salib Putih seperti bumi
perkemahan, kebun kopi, dan kandang sapi perah, bermodalkan penunjuk arah yang
ada disana. Salib Putih memang benar-benar tempat agrowisata yang patut
dipertimbangkan sebagai tempat berlibur!
Puas
menjelajah Salib Putih, rasa haus dan lapar menderaku. Beruntung waktu sarapan telah
tiba ketika aku datang ke gedung utama wisma Salib Putih. Sarapan pagi itu
sungguh enak, mungkin karena efek rasa lapar XD. Aku menghabiskan beberapa
potong ayam yang menurutku sangat gurih, dengan tekstur daging yang lembut di
lidah. Meskipun aku bukan seorang pengamat kuliner yang bisa menilai kualitas
sebuah masakan, tapi cita rasa yang hadir pada pagi itu sungguh cocok di
lidahku. Sarapan pertama selesai.
Aku
kembali ke kamar yang disediakan untuk kami. Di wisma Salib Putih aku berbagi
kamar dengan Jons, Agus, dan Jerry. Jerry adalah seorang kameramen program IYP,
jadi berbeda dengan kami bertiga, dia bukan peserta IYP, meskipun dia sudah
membaur dengan kami layaknya seorang peserta IYP. Mereka belum sarapan dan
mereka kembali mengajakku ke dining room untuk sarapan. Tentu kesempatan
ini tidak akan kutolak, karena aku sangat menyukai menu yang tersedia di ruang
makan. Aku bahkan jadi memiliki alibi menemani mereka sarapan, sehingga aku
bisa makan kembali XD.
Bus
Yang Menemani Menuju Kopeng
Pagi
itu kami berkumpul di ruang pertemuan yang disediakan wisma Salib Putih
membahas jurnal yang menjadi tugas kami selama mengikuti program IYP. Selama
mengikuti program IYP kami diwajibkan membuat jurnal harian dan photo
stories. Selain itu, masing-masing dari kami juga diminta membuat sebuah feature
untuk disatukan dan dibuat menjadi sebuah buku. Tulisan ini merupakan salah
satu dari rangkaian jurnal yang kubuat selama mengikuti program IYP.
Kami
sudah harus meninggalkan wisma Salib Putih sebelum jam 12 siang. Sangat
disayangkan kami hanya memiliki beberapa jam saja menikmati keindahan dan
ketenangan perbukitan yang disulap menjadi sebuah wisma megah. Tempat ini
sangat cocok untuk melepas penat dari aktifitas padat dan menjauh dari
kebisingan kota sambil menikmati view keindahan alam yang tersedia.
Di
setiap perpindahan tempat kami setia menggunakan bus pariwisata yang disediakan
oleh panitia IYP. Bisa dikatakan bus itu adalah rumah kami yang sesungguhnya
selama mengikuti program IYP, sebab kami lebih sering berada di dalam bus
daripada menetap di satu tempat. Bus itu sudah membuat kami nyaman. Kami lebih
banyak menghabiskan waktu bersama di bus tersebut.
Dengan
bus itu, kami menuju Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Syailendra yang ada di
Kopeng. Kopeng merupakan sebuah daerah yang berada di lereng gunung Merbabu,
sehingga dapat dibayangkan kondisi tanah di daerah ini yang tidak rata. Jalan
yang kami tempuh pun idem. Naik turun, berkelak-kelok. Kami harus
melewati jalan menanjak. Kami juga harus menempuh jalan menurun yang curam,
tepat dimana STAB Syailendra berada.
Awal
memasuki gedung utama, kami disambut oleh mahasiswa-mahasiswi beserta jajaran
dosen STAB Syailendra. Sesi selanjutnya sudah bisa ditebak, diskusi. Diskusi
saat itu adalah perkembangan STAB Syailendra sendiri dan ajaran agama Buddha.
Yang menjadi pemateri adalah Pak Sunarto, ketua STAB Syailendra yang tidak lain
kakak kandung dari Susanto, peserta IYP. Dua orang peserta IYP yakni Susanto
dan Subagyo merupakan mahasiswa STAB Syailendra, sehingga kunjungan kali ini
bisa diibaratkan pulang ke kandang bagi mereka.
Pada
sesi diskusi saat itu, aku melontarkan beberapa pertanyaan untuk memuaskan rasa
ingin tahuku tentang ajaran agama Buddha. Ajaran Buddha merupakan ajaran norma,
nilai-nilai kebaikan hidup. Ajaran Buddha sama sekali tidak menyentuh ranah transenden,
ranah ketuhanan. Dengan alasan logika manusia tidak akan mampu menjangkau aspek
ketuhanan sehingga ajaran Buddha bersikap no comment terhadap aspek ini.
Ajaran Buddha tidak menentukan siapa Tuhan, seperti apa Tuhan, sifat Tuhan,
kekuasaan Tuhan, dan lain sebagainya yang berkenaan dengan ketuhanan, meskipun
mereka tetap mengakui “adanya” Tuhan. Hal ini menimbulkan
pertanyaan besar bagiku. Bagaimana mereka sebagai seorang manusia yang mengakui
adanya Tuhan, beribadah kepada-Nya. Sebagai seorang makhluk tentu kita sudah
mafhum bahwa kita memerlukan Tuhan sebagai sandaran kehidupan spiritual. Dan
hal ini begitu mengganjal di pikiranku, bagaimana sikap penganut ajaran Buddha?
Jawaban
yang diberikan kepadaku, secara jujur, tidak membuatku puas. Rasa ingin tahuku
yang besar tidak begitu saja terobati dengan jawaban yang diberikan kepadaku.
Pada intinya, logika tidak menemukan titik temu antara apa yang kupertanyakan
dengan jawaban yang kudapatkan.
Waktu
jua yang akhirnya membatasi seluruh proses yang ada, termasuk diskusi kali itu.
Dengan rasa tidak puas aku terpaksa mengikuti kejamnya batasan waktu terhadap
rasa ingin tahuku. Sebelum kami meninggalkan STAB Syailendra, terlebih dahulu
para mahasiswa di kampus itu menampilkan kesenian tradisional yang juga
diajarkan kepada mereka. Mereka menampilkan permainan gamelan yang dipadu
dengan nyanyian tradisional setempat. Cukup mengasikkan, padunya permainan
gamelan yang mereka suguhkan dan merdunya suara penyanyi membuat kami betah
mendengarkan apa yang mereka tampilkan.
Selepas
itu kami harus segera meninggalkan Kopeng menuju Magelang. Jalan yang kami
tempuh merupakan jalan yang berlika-liku, naik turun, sebab ini adalah lereng
gunung. Berulang kali aku maupun Edward, peserta IYP asal Kupang, mencoba
mengambil objek foto pegunungan, namun seringkali gagal karena bus yang kami
tumpangi segera berbelok ataupun terhalang oleh pepohonan. Setelah perjalanan
yang cukup jauh akhirnya kami tiba di kota Magelang dan segera meluncur ke
tujuan berikutnya, sebuah desa wisata di sudut Magelang. Di tengah perjalanan
kami melewati Candi Mendut. Wow inilah kali pertama aku melihat candi secara
langsung. Meskipun kami tidak singgah, namun aku menganggap itu adalah awal
petualanganku untuk mengeksplor candi-candi wisata lebih lanjut.
Anak-Anak
Jenderal
Kami
tiba menjelang petang di desa wisata di kawasan wisata Candi Borobudur,
meskipun masih sangat jauh dengan Candi Borobudur itu sendiri. Ketentuan yang
diberikan panitia, kami malam itu akan menginap di rumah warga. Sebelumnya kami
sudah dibagi menjadi beberapa kelompok dan aku tergabung bersama Jons, Ade, dan
Edward untuk tinggal di satu rumah bersama warga setempat. Kami tidak tinggal
secara gratis karena warga disitu menyediakan beberapa kamar khusus untuk para
wisatawan di dalam rumahnya. Hampir mirip seperti kos-kosan. Hanya saja yang
mengurus semua hal itu adalah panitia IYP. Terima kasih untuk panitia
penyelenggara IYP J.
Begitu
tiba di rumah warga tersebut, yang aku lupa namanya, kami disambut oleh bapak
dan ibu pemilik rumah yang bisa dikatakan sudah cukup sepuh. Kesan awal, mereka
adalah orang yang baik. Mereka memiliki tiga orang anak yang semuanya sudah
tidak tinggal bersama mereka lagi.
Dasar
nasib, tiga orang teman yang tinggal denganku malam itu merupakan orang-orang
yang kocak abis. Banyak kejadian lucu yang terjadi pada malam itu.
Bahkan percakapan kami pertama kali pun sudah mengundang tawa. Adalah Ade,
peserta IYP asal Makassar, yang pertama kali membuat malam itu penuh dengan
tawa. Setelah meletakkan barang bawaan di kamar, Ade serta merta keluar kamar
dan meminta izin untuk merokok kepada bapak dan ibu pemilik rumah. Dengan gaya
bicaranya yang khas dan nyaring dia berkata “Pak, Bu, saya izin merokok ya”
tepat di belakang mereka berdua. Tentu saja bapak dan ibu pemilik rumah serta
merta kaget dan langsung berbalik badan. “Mungkin mereka kaget karena suara Ade
seperti sedang membentak” bisikku kepada Jons. Aku, Jons, dan Edward sekuat
tenaga menahan ketawa karena hal itu.
Sejak
saat itu, Ade seakan apes. Kami mengobrol cukup lama di ruang tamu, tanpa
ibu pemilik rumah yang sedang mengerjakan sesuatu di ruang tengah. Jons dan
Edward berulang kali menanyakan sesuatu yang kemudian dijawab oleh bapak
pemilik rumah. Sementara setiap kali Ade bertanya tidak pernah digubris apalagi
dijawab oleh bapak tersebut. Hal ini sekali lagi membuat kami tertawa mengocok
perut.
Banyak
hal lainnya yang sangat lucu pada malam itu. Seperti saat Edward menanyakan
apakah bapak pemilik rumah sempat merasakan penjajahan Jepang. Beliau menjawab
sempat dan beliau berumur tiga tahun pada saat itu. Edward kembali bertanya
“bapak dulu ikut perang?” sambil memeragakan gaya menodongkan senjata. Kami
tertawa ngakak mendengar pertanyaan itu. Beliau saat itu berumur tiga tahun,
kok ditanyakan ikut perang atau tidak XD.
Masih
banyak percakapan-percakapan kami malam itu yang apabila diingat selalu
membuatku tertawa sendiri. Bahkan terlalu banyak jika harus ditulis seluruhnya.
Namun satu hal lain yang juga kembali mengundang tawa apabila diingat, ketika
salah seorang dari kami bertanya kepada bapak pemilik rumah, “Jenderal Sudirman
berasal dari Magelang kan pak?”, beliau justru menjawab enteng “bukan”. Kami
kaget bukan kepalang. Selama ini kami diajarkan melalui pelajaran sejarah bahwa
Jenderal Sudirman berasal dari Magelang, kok sekarang sepuh Magelang menjawab
bukan. Menyalahkan buku sejarah tidak mungkin, menyalahkan bapak tersebut juga
sungkan. Hingga akhirnya Ade kembali nyeletuk dengan gaya khasnya yang lucu,
“Jenderal Sudirman kan berasal dari Palangkaraya”. Sebab percakapan itulah kami
memberikan gelar Jenderal kepada bapak tersebut. Dan kami berempat adalah anak
dari induk semang seorang Jenderal, paling tidak untuk satu malam.
…Bersambung…
16
November 2013
Ahmad Rafuan
Mahasiswa Program Studi Hukum Perdata Islam STAIN Palangka Raya
Alumni Interfaith Youth Pilgrimage 2013
Mahasiswa Program Studi Hukum Perdata Islam STAIN Palangka Raya
Alumni Interfaith Youth Pilgrimage 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar