Oleh Ahmad Rafuan
18 Maret 2013
Pagi hari kita disuguhi drama siraman rohani dengan air keruh oleh pencerita-pencerita yang handal bicara. Selanjutnya menu sarapan berita-berita kriminal, pembunuhan, tawuran, korupsi dan yang lainnya. Tak ketinggalan novel-novel kisah para artis negeri ini berbasis gosip yang memiliki episode panjang, yang tak jarang memakan waktu penyelesaian berlarut-larut, dengan tema kemewahan, hidup hedonis, dan yang lainnya. Sedikit lebih siang, rakyat Republik The-lie-Vision diberikan tontonan drama debat kusir nan kasar para politisi yang tidak cerdas bermuka memelas. Tak kalah mengasyikan sinetron-sinetron ajaib penuh khayalan yang tidak masuk akal menjadi santapan makan malam. Jadilah semua itu pengantar tidur kita, supaya bermimpi indah lebih indah dari realita. Bahkan tidak sedikit yang menginginkan mimpi menjadi nyata dan nyata hanyalah mimpi belaka di negeri Indonesia, Republik The-lie-Vision.
Pagi hari kita disuguhi drama siraman rohani dengan air keruh oleh pencerita-pencerita yang handal bicara. Selanjutnya menu sarapan berita-berita kriminal, pembunuhan, tawuran, korupsi dan yang lainnya. Tak ketinggalan novel-novel kisah para artis negeri ini berbasis gosip yang memiliki episode panjang, yang tak jarang memakan waktu penyelesaian berlarut-larut, dengan tema kemewahan, hidup hedonis, dan yang lainnya. Sedikit lebih siang, rakyat Republik The-lie-Vision diberikan tontonan drama debat kusir nan kasar para politisi yang tidak cerdas bermuka memelas. Tak kalah mengasyikan sinetron-sinetron ajaib penuh khayalan yang tidak masuk akal menjadi santapan makan malam. Jadilah semua itu pengantar tidur kita, supaya bermimpi indah lebih indah dari realita. Bahkan tidak sedikit yang menginginkan mimpi menjadi nyata dan nyata hanyalah mimpi belaka di negeri Indonesia, Republik The-lie-Vision.
Tulisan singkat di atas adalah
sebuah status yang pernah saya posting di laman jejaring sosial milik pribadi.
Terinspirasi pada sebuah tulisan milik Fahd Djibran, saya berpikir bahwa benar
ada “konspirasi” pembodohan di negeri ini. Sengaja meminjam istilah konspirasi
yang sering disebut-sebut politisi negeri ini apabila ada sesuatu yang menimpa
mereka dengan menyalahkan orang lain. Hakikatnya kebodohan yang menjadi epidemi
bangsa ini bukanlah kesalahan pihak lain, akan tetapi buah dari rasa malas
manusia Indonesia itu sendiri, pemerintah dan masyarakatnya. Pemerintah malas
untuk memperhatikan rakyatnya, dan rakyatnya juga malas memperhatikan diri
sendiri. Surga dunia yang dimanifestasikan keuntungan individual membuat banyak
orang acuh terhadap orang lain, yang penting diri sendiri untung dan untung.
Pembodohan yang paling akut di
negeri ini adalah candu terhadap televisi. Tidak ada salahnya menonton
televisi, akan tetapi setiap yang berlebihan tentu tidak baik bahkan cenderung
merusak. Ditambah lagi kecenderungan industri pertelevisian yang mengindahkan
tontonan berkualitas, alih-alih mencerdaskan malah membodohkan. Pagi-pagi buta
kita disuguhi program siraman rohani, yang secara eksplisit justru bagus bagi
pengayaan kehidupan spiritual. Tapi apa daya, satu dua program yang laris
diikuti oleh program-program sejenis yang lain. Persaingan “sehat” membuat para
pelaku industri mencari kekhasan dari acaranya masing-masing. Akhirnya,
dibumbuilah acara pengajian tersebut dengan bumbu-bumbu asam manis bahkan
cenderung pahit bagi yang menyadari. Pendidikan spiritual berubah menjadi
semacam reality show mengumbar aib demi mengundang simpati orang lain. Siraman
rohani tetap berjalan namun dengan air yang keruh. Ini salah satu bentuk
korupsi esensi siraman rohani!
Tidak berhenti sampai disitu, kita
kemudian disuguhi menu sarapan berupa berita-berita yang disajikan tanpa
penyaringan. Saya berani mengatakan hampir 80 % konten berita diisi oleh berita
kriminal, pembunuhan, pencurian, tawuran, kekerasan, korupsi dan yang lainnya.
Bukan bermaksud menghalangi kebebasan pers. Tetapi kebebasan tersebut telah
jebol sehingga membebaskan masyarakat untuk mengambil inspirasi dari hal
tersebut. Layaknya Qabil yang terinspirasi cara membunuh dan menguburkan
saudaranya dari burung, jika kita mengambil contoh sejarah kehidupan dalam
kitab suci agama Abrahamic. Bandingkan dengan pemberitaan tentang program
sosial, pendidikan gratis yang digagas beberapa pihak, sunatan massal, dan
kejadian sejenis yang juga (mungkin) akan menginspirasi banyak orang.
Kotak ajaib kembali menyuguhkan
gelombang pembodohan yang bukannya semakin surut malah bertambah sesuai dengan
distorsi layaknya musik, bahkan layaknya novel yang membawa pemirsa menaiki
puncak klimaks, atau anti-klimaks? Program gosip menyapa kita dengan menyajikan
episode panjang kehidupan para selebritas, yang tak jarang justru tidak baik
untuk diikuti. Tema yang diangkat pun tak kalah menyesakkan. Kemewahan, sikap
hidup hedonis, bergonta-ganti pasangan (minimal pacar), perceraian (yang begitu
mudah terjadi di kalangan artis), dan sikap lain yang sama sekali tidak layak
untuk dicontoh, minimal untuk orang yang tidak memiliki modal setara artis
seperti penulis ini.
Tidak ketinggalan drama
berkepanjangan para politisi negeri ini yang disuguhkan melalui debat kusir nan
kasar. Dua kubu yang berdebat tentang suatu hal seolah tak mau kalah apalagi
dianggap salah. Saya bahkan sempat berpikir, jika peserta debat yang pernah
saya tonton tersebut sama-sama tidak ada yang salah, apakah justru saya selaku
penonton yang salah? Penonton? Ya saya penonton, dan pastinya bukan cuma saya
yang menonton. Apakah mereka tidak malu kebodohan mereka ditonton oleh banyak
orang? Ah ya sudahlah, demi kebaikan saya saja yang salah dan saya saja yang
malu. Maka dari itu langsung saja saya matikan televisi tersebut daripada terus
ribut dan akhirnya saya malu sendiri, selain malu karena menyaksikan para wakil
rakyat (wakil saya sendiri) tak kunjung selesai berdebat juga malu bahwa saya
tak mampu memberikan solusi dari apa yang diperdebatkan. Ya matikan televisi.
Tak lupa pengantar sebelum tidur
macam-macam jenis sinetron bersileweran di berbagai kanal televisi. Dari yang
mengangkat tema kemewahan, percintaan, bahkan khayalan. Sinetron ajaib dan
tidak masuk akal yang meracuni kita semua, bukan hanya anak kecil saja, mengajarkan
banyak hal. Bahkan pernah sebuah sinetron yang katanya bertema reliji juga demi
rating rela memasukkan hal-hal yang tidak logis dan tidak mendidik. Digambarkan
ada dua kubu sebagai protagonis di dalam sinetron tersebut. Kubu kebaikan
diwakili oleh para ustadz muda nan gaul yang suka membantu rakyat kecil yang
lemah melawan kubu kejahatan yang biasanya diwakili oleh orang-orang kaya yang
pelit dan sombong. Nah dari sinopsisnya saja sudah mengajarkan untuk memberikan
generalisasi bahwa orang kaya identik dengan kesombongan dan orang miskin
adalah orang-orang lemah yang tidak bisa berjuang demi diri sendiri. Bahkan
tidak jarang akhirnya mucul barang-barang ajaib yang membantu pihak yang
(dianggap) baik tersebut, yang justru parahnya mengajarkan untuk hidup secara
praktis mengharapkan jalan pintas berupa keajaiban-keajaiban. Semua hal
tersebut disadari atau tidak mampu memberikan pengaruh bagi alam bawah sadar
kita.
Masalahnya memang kompleks. Di satu
sisi televisi memberikan berbagai keuntungan berupa informasi yang cepat. Namun
di sisi lain (kebebasan) televisi justru dapat memberikan dampak yang negatif.
Akhirnya, demi melawan pembodohan-pembodohan tersebut “pintar-pintarlah”
memilih dan memilah. Atau jika masih takut, cukup klik! Matikan the-lie-vision (Visi Kebohongan)!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar