Oleh Ahmad Rafuan
28 Maret 2013
Indonesia bukan hanya
nama dari sebuah negara. Lebih dari itu, Indonesia merupakan sebuah
nama pemersatu dari bangsa yang terdiri dari bermacam-macam ras, suku,
budaya, bahasa, dan bahkan agama. Bangsa Indonesia adalah bangsa unik
yang memiliki tingkat kemajukan luar biasa. Dilihat dari aspek sejarah,
tidak ada dominasi satu kelompok saja dalam usaha meraih kemerdekaan.
Fakta historis yang menunjukkan betapa kuatnya persatuan bangsa pada
masa itu.
Tentu miris melihat perjalanan bangsa ini di
usia kemerdekaan yang sudah melewati 67 tahun. Konflik antar kelompok
makin marak terjadi di berbagai daerah. Semangat primordialisme dan
berkelompok tumbuh pesat di tengah rasa frustasi atas mandeknya prestasi
pemerintah mensejahterakan rakyatnya. Tidak ada lagi rasa persaudaraan
atas nama bangsa Indonesia. Perbedaan adalah hal tabu untuk dibicarakan
apalagi dikompromikan. Perdamaian antar kelompok hanya utopis yang sukar
untuk diraih. Situasi yang amat berlawanan dengan semangat kebersamaan
bangsa pada masa perjuangan meraih kemerdekaan. Sumpah pemuda yang amat
terkenal itu bagaikan sebuah barang kuno yang tergeletak dalam memori
sejarah. Pancasila pun bukan lagi pusaka bersama. Bangsa ini tidak punya
lagi jimat sakti pemersatu dalam perbedaan. Bukan tidak mungkin
kebanggaan selama ini sebagai bangsa yang sangat majemuk akan sirna
dalam beberapa puluh tahun ke depan.
Di berbagai sudut
daerah, banyak falsafah-falsafah berhamburan yang menandakan bahwa
bangsa ini sebenarnya memiliki banyak pedoman untuk hidup rukun. Bahkan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah barang yang wajib diajarkan di
setiap jenjang pendidikan. Tidak kurang MPR dengan kegiatan rutin setiap
tahun dalam mensosialisasikan empat pilar kehidupan berbangsa, yang
salah satunya adalah Bhinneka Tunggal Ika. Yang kurang hanyalah aplikasi
terhadap nilai-nilai falsafah tersebut.
Indonesia
sebagai sebuah negara sudah seharusnya menjadi wadah berlindung
rakyatnya yang majemuk. Jika negara tidak mampu lagi menjamin keamanan
dan keselamatan rakyatnya, maka hal ini menodai kontrak sosial antara
negara dan masyarakat. Padahal jelas bahwa fungsi negara adalah memenuhi
hajat hidup rakyatnya dan menjamin keselamatan mereka. Namun, rakyat
pun harus turut serta dalam menjaga perdamaian dan persatuan bangsa
mereka sendiri.
Indonesia adalah rumah bersama.
Seluruh komponen-komponen rakyat tinggal di dalam rumah yang sama, rumah
besar yang menampung seluruh hajat hidup masyarakatnya. Penulis jadi
teringat pada sebuah falsafah yang tumbuh dan berkembang di lingkungan
masyarakat Kalimantan Tengah. Falsafah yang selama ini mampu merekatkan
penduduk setempat meskipun hidup dalam perbedaan. Falsafah ini dikenal
dengan nama Huma Betang yang artinya rumah yang panjang. Huma Betang
adalah tempat tinggal dan juga berkumpulnya masyarakat. Meskipun berbeda
satu sama lain, Huma Betang tetaplah rumah bersama yang dapat
ditinggali oleh siapapun. Alangkah indahnya jika Indonesia mampu menjadi
Huma Betang bagi segenap kalangan rakyatnya, rumah besar dan panjang
yang di dalamnya hidup bangsa yang majemuk dan hidup dalam keharmonisan.
Lepaskan sejenak perbedaan suku, ras, budaya, bahasa, maupun agama.
Hidup damai di dalam rumah bersama. Satukan pandangan dalam menjaga
rumah itu, rumah yang sama-sama ditinggali. Rumah itu adalah NKRI. Rumah
bagi seluruh bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar