Selasa, 14 Januari 2014

1 Hari Bermakna


Dari Percik Menuju Induk Semang, Mencari Identitas Kebaikan

Pukul 4 pagi aku sudah terbangun. Ada rasa malas untuk beranjak dari kasur karena cuaca yang cukup dingin dan sejuk, terlebih teman-teman (peserta IYP laki-laki) yang lain masih tertidur pulas. Saat bumi Salatiga sudah agak terang, sekitar pukul 5 pagi, aku pun menjelajahi lingkungan sekitar Kampoeng Percik. Percik berada di dataran tinggi, lereng gunung, yang asri dan memiliki keindahan murni, sekitar 10 menit perjalanan darat dari kota Salatiga. Berada di Percik seakan-akan sama dengan berada di sebuah kampung di dalam hutan. Suara tokek, suara jangkrik, dapat didengar kapan saja. Hanya saja, keasrian dan kemurnian lingkungan Percik terganggu dengan adanya bau tidak sedap yang berasal dari pabrik pemotongan ayam, tepat di depan lingkungan Kampoeng Percik.

Keindahan lingkungan Kampoeng Percik tidak kusia-siakan begitu saja. Ritual perjalanan anak muda sudah pasti akan kulakukan. Bermodal kamera pocket, kupotret semua pemandangan indah disana. Mulai dari sawah pertanian, pepohonan, dan pegunungan tidak luput dari sasaran kamera. Setelah dirasa cukup, aku kembali ke Percik. Sebelumnya aku sempat singgah di sebuah warung di dekat situ dan mengobrol dengan warga sekitar sambil menyantap beberapa kue molen yang enak dan murah -1 kue seharga Rp500.
Pemandangan sekitar Percik
Pagi itu kami akan melakukan aktifitas senam poco-poco, sesuai dengan kesepakatan malam sebelumnya. Hanya saja, disebabkan satu dan lain hal, kami mengubahnya menjadi jogging keluar Kampoeng Percik. Aku tidak ikut lari, sebab aku sedang menunggu seorang teman lama yang akan menjemputku berkeliling kota Salatiga.

Kota Kecil 4 Gunung

Nino, teman seperjuanganku selama dua bulan di Amerika dalam program SUSI RPA, tiba di Percik sekitar pukul 6.20 pagi. Dia adalah penduduk asli Salatiga. Pagi itu, dia menjemputku untuk diajak berkeliling kota Salatiga menggunakan sepeda motor. Hampir 9 bulan sejak kami terakhir bertemu. Tidak ada perubahan fisik yang berarti darinya. Tetap lebih tinggi dariku.
Warung Makan yang menjual Soto Bening khas Salatiga
Salatiga adalah kota yang kaya akan keberagaman penduduknya. Kota penghasil berbagai macam kerajinan ini adalah kota yang damai dan jauh dari potensi konflik. Perbedaan suku dan agama bukanlah masalah berarti bagi warga Salatiga. Warga setempat bahkan secara tidak tertulis seakan menyepakati bahwa Salatiga menolak berbagai macam bentuk perselisihan atas nama agama.

Dari segi geografis, kota Salatiga terletak di antara 4 gunung, salah satunya adalah Merbabu dan Merapi. Hawa sejuk akan menyapa semua orang di kota ini. Salatiga adalah kota yang kecil namun sudah sangat tua. Kota ini sudah berumur lebih dari 1.200an tahun. Sejarah mengatakan bahwa Salatiga mempunyai peranan penting dalam salah satu perjalanan kerajaan Mataram Hindu.

Ada banyak tempat-tempat yang wajib dikunjungi jika berada di kota ini. Mulai dari lapangan Pancasila, berbagai perguruan tinggi yang ada di kota Salatiga, patung Jenderal Sudirman, perpustakaan, wisata Kopeng, wisata kuliner khas Salatiga, hingga tempat-tempat bagus lainnya. Hanya saja keterbatasan waktu membuatku tidak bisa sesuka hati mengeksplor keunikan Salatiga. Hanya beberapa tempat saja yang sempat kukunjungi. Aku tetap harus fokus pada kegiatan IYP, karena program inilah aku bisa berada disini. Pagi itu, aku dan nino berkeliling ke beberapa tempat terdekat di Salatiga. Berada di antara beberapa gunung, membuat jalan yang kami lalui naik turun. Petualangan kami terhenti sejenak untuk menuntaskan rasa lapar. Kami sarapan di sebuah warung makan yang menyediakan makanan tradisional. Aku mencoba menu sup bening khas Salatiga dan beberapa kue khas yang aku lupa namanya.

Setelah mengisi ulang energi, kami melanjutkan perjalanan menuju STAIN Salatiga, tempat dimana Nino kuliah, begitu pula Annur, salah seorang peserta IYP. STAIN Salatiga adalah perguruan tinggi Islam yang ada di kota Salatiga. Memiliki gedung-gedung yang cukup modern, serta gedung perkuliahan dengan 3 lantai. STAIN Salatiga terbagi menjadi dua kampus, kampus A dan kampus B. Kami hanya sempat mengunjungi kampus A, tempat dimana Nino biasa kuliah. Dari pintu gerbang, kita bisa melihat keindahan gunung Merbabu yang menjulang tinggi di antara bangunan-bangunan yang ada di Salatiga.
Segelas Teh Hangat dan Semangkuk Soto Bening
Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah Panti Asuhan Abu Huroiroh, sebuah panti asuhan yang menampung anak-anak yang kehilangan orang tuanya, maupun anak-anak yang berada dalam garis kemiskinan. Ada satu hal yang unik dari panti asuhan ini yaitu pengajarnya yang kebanyakan berasal dari luar negeri. Tidak kurang pemuda dari Perancis, Jerman, Amerika Serikat, India, dan Jepang pernah mengabdikan dirinya disini. Panti asuhan ini bekerja sama dengan IIWC, sebuah organisasi volunteering, untuk menyalurkan pemuda-pemuda di seluruh dunia yang berminat mengabdikan dirinya di jalur sosial, salah satunya pendidikan gratis bagi anak yang kurang mampu. Nino adalah salah satu staff pengajar di panti asuhan itu, selain memang dia sudah sejak lama tinggal disana.
Mural di Panti Asuhan Abu Huroiroh
Persemaian Cinta Kemanusiaan

Jam 8 kurang 10 menit, kami sudah tiba kembali di Kampoeng Percik. Nino berpamitan dan kembali ke kota Salatiga. Kami kembali harus berpisah setelah sekian lama tidak bertemu pasca program SUSI RPA. Pagi itu, peserta IYP akan mendengarkan pemaparan terkait dengan sejarah dan arah tujuan Percik (Persemaian Cinta Kemanusiaan).
Monumen patung di pusat kota Salatiga
Percik merupakan lembaga yang didirikan pada tahun 1996 oleh sejumlah ilmuwan yang berlatar belakang dosen, peneliti, dan aktifis sosial. Sejumlah dosen UKSW, universitas terkemuka di Salatiga, terpaksa keluar karena menolak beberapa kebijakan dari pengurus yayasan dan pimipinan universitas yang dinilai tidak demokratis, bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, dan tidak menjunjung tinggi kebebasan akademis serta otonomi kampus. Berdirinya Lembaga Percik merupakan wadah baru untuk mewujudkan idealisme mereka mengenai masyarakat yang demokratis dan berkeadilan sosial. Percik disebut juga Kampoeng Percik sebab di dalamnya terdapat beberapa rumah tradisional sehingga lebih mirip sebuah kampung kecil. Percik berfokus pada bidang penelitian dan advokasi.
Dr. Pradjarta dan Mbak Ambar
Dr. Pradjarta dan sejumlah pengurus Kampoeng Percik menjelaskan banyak hal kepada kami. Dari situ aku dapat menangkap tingginya semangat yang mereka pegang teguh dalam memperjuangkan idealisme mereka. Nandur pari jero adalah ungkapan yang menggambarkan semangat spiritual mereka. Berjuang dengan ikhlas tanpa melihat hasil, dan yakin bahwa hasil manis itu akan direguk oleh generasi selanjutnya. Berjuang untuk anak cucu mereka. Berjuang untuk kehidupan yang lebih baik bagi seluruh manusia. Setidaknya itulah yang kulihat dari sejarah perjalanan Kampoeng Percik.

Setelah sesi diskusi selesai, Dr. Pradjarta mengajak kami ke perpustakaan yang ada disana. Kami melihat-lihat seisi perpustakaan tersebut. Tampak banyak sekali buku-buku yang merepresentasikan idealisme Kampoeng Percik. Dr. Pradjarta menjelaskan beberapa hal terkait perpustakaan tersebut. Ternyata Kampoeng Percik juga memiliki badan penerbitan tersendiri. Banyak buku-buku yang diterbitkan oleh Kampoeng Percik. Tentunya hanya buku-buku yang sejalan dengan idealisme Kampoeng Percik. Aku sangat senang ketika Dr. Pradjarta mengumumkan akan membagikan beberapa buku secara gratis kepada kami. Bagiku, tidak ada hadiah yang paling berkesan selain buku-buku bermanfaat. Dan aku tambah bersemangat ketika melihat buku Pro Rakyat Miskin, yang dari awal masuk ke perpustakaan sudah kumasukkan list must buy and read, termasuk buku yang akan dibagikan kepada kami. Setidaknya ada 6 buku yang kudapatkan pada hari itu. Sounds great, right ?
Dr. Pradjarta mengajak kami ke perpustakaan Percik
"..."

Siang itu, sesi diskusi akan berlanjut. Hanya saja materi yang akan dibahas kali ini adalah tips menulis artikel di media massa. Seorang wartawan senior Joglo Semar, media cetak lokal, sengaja didatangkan. Aku tidak terlalu fokus mengikuti sesi kali ini. Padahal materi yang akan disampaikan sangatlah menarik dan membantu meningkatkan kualitas tulisan. Hanya saja tidak kurang dari 6 kali telepon masuk ke handphone milikku dalam rentang waktu 1 jam. Hal ini bermuara pada persiapan kegiatan yang akan dilaksanakan di kampusku, STAIN Palangka Raya. Ada beberapa permasalahan yang menuntut solusi secepat mungkin terkait persiapan tersebut. Tentu cukup menyita perhatianku, sehingga konsentrasiku buyar saat mengikuti materi siang itu.

Sesi selanjutnya adalah pengenalan gerakan Sobat. Pada sesi ini, aku mencoba mengikutinya sebaik mungkin sebagai ganti sesi sebelumnya. Sobat adalah sebuah gerakan yang menyatukan penganut berbagai agama di dalam satu wadah bersama. Di dalam Sobat, tidak mengenal lagi istilah perbedaan agama, dan seluruh anggotanya akan melakukan suatu hal bersama-sama untuk kemajuan bersama. Gagasan pendirian gerakan Sobat bermula di Kampoeng Percik.

Aku mencoba menghibur diri sesekali saat materi Sobat masih berlangsung ketika kembali teringat permasalahan yang kubicarakan dengan temanku via telepon sebelumnya. Puncaknya adalah saat aku mengerjai beberapa temanku yang fokus memperhatikan paparan Sobat. Aku meminta selembar kertas pada Fahmi yang duduk di sampingku pada saat itu. Kemudian, di kertas tersebut kutulis

            Jangan dibuka, tidak ada apa-apa di dalamnya. Aku hanya iseng ingin ngerjain kalian.

Kertas itu kulipat sehingga tulisan tersebut tersembunyi di balik lipatan tersebut. Aku meminta kepada teman-teman yang duduk di sebelah kiri ku untuk memberikan kertas tersebut kepada Rudi yang duduk di meja paling ujung sambil berpesan, “Kasihkan ke Rudi, jangan dibuka yaa” pintaku. Aku sengaja mengucapkan hal itu untuk memancing rasa penasaran teman-temanku. Satu dua orang lolos, dan akhirnya ketika kertas tersebut melewati orang ketiga, dia membukanya! Aku sengaja memperhatikannya saat dia membuka kertas tersebut. Dia tertawa saat membaca tulisan yang ada di dalamnya dan kemudian melihat ke arahku. Aku tidak bisa menahan untuk tidak tertawa ketika melihat ekspresinya saat menatapku. Ada sedikit rasa jengkel yang tergambar dari wajahnya ketika dia melihat ke arahku. Kemudian dia ikut tertawa kecil ketika menyaksikan aku tertawa geli karena berhasil mengerjainya. Dia melipat kertas itu kembali dan melanjutkan perjalanan dari kertas tersebut yang akhirnya kembali memakan beberapa korban penipuan XD.

Berbeda Agama Tidak Mesti Tidak Bekerja Sama

Setelah pemaparan mengenai Sobat selesai, kami akan memasuki sesi yang lebih khusus untuk mengetahui perihal Sobat lebih mendalam. Seluruh peserta IYP dibagi menjadi 3 kelompok dimana masing-masing akan membahas mengenai Sobat lebih rinci lagi. Sobat sendiri dibagi menjadi beberapa ranah yang berbeda, disesuaikan dengan usia anggotanya. Setidaknya ada Sobat Anak, Sobat Muda, dan Sobat secara umum yang anggotanya merupakan orang-orang dewasa. Setiap kelompok akan membahas salah satu dari bagian Sobat. Aku sendiri termasuk ke dalam kelompok yang akan membahas Sobat Muda. Dengan ditemani beberapa anggota Sobat Muda seperti Manto, Ridwan, dan yang lainnya, kami juga ditemani oleh Mbak Ambar, salah seorang aktifis Percik yang juga pentolan Sobat Muda.
Sobat Muda Salatiga
Sobat Muda merupakan salah satu pembagian dari Sobat. Sesuai namanya, Sobat Muda merupakan wadah para pemuda antar agama untuk bersatu menyelesaikan permasalahan bersama. Hal yang menarik dari Sobat Muda adalah para anggotanya tidak terlalu tertarik membahas perbedaan agama, tetapi mereka lebih fokus mengembangkan diri bersama-sama. Seperti salah satu kegiatannya dimana para anggota Sobat Muda bersama-sama belajar mengenai cara membuat film dokumenter, dan hasilnya mereka sudah memiliki beberapa karya film dokumenter buatan sendiri. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Sobat Muda lebih banyak berkaitan dengan jiwa kepemudaan yang ingin mengeksplor dan mengembangkan hal-hal baru yang tentunya bermanfaat. Inilah yang selama ini kucari, dan akhirnya kudapatkan disini, di Kampoeng Percik.
Suasana Diskusi Sobat Muda
Ciuman Kedamaian Seorang Anak Kristiani

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 5 sore ketika kami berkemas meninggalkan Kampoeng Percik. Tujuan kami selanjutnya adalah GKJ Sidomukti untuk menemui keluarga asuh yang akan menjadi tempat kami tinggal malam ini. Ketika kami tiba di GKJ Sidomukti, sudah banyak orang-orang disana menunggu kami. Hari ini seluruh peserta IYP yang muslim akan tinggal di rumah jemaat GKJ Sidomukti, sedangkan peserta IYP yang non-muslim akan tinggal di Pesantren Edi Mancoro yang terletak dekat dengan Salatiga.

Rumah Pak Yohanes Sutimin adalah rumah yang akan menjadi persinggahanku untuk malam ini. Terletak di dusun Kenteng, sebuah dusun di pinggiran kota Salatiga. Aku tiba sekitar pukul 6 petang hari dengan diantar oleh jemaat GKJ Sidomukti yang lain menggunakan mobilnya bersama Fahmi dan Rudi, yang kebetulan keluarga asuhnya juga tinggal di dusun Kenteng. Pak Timin, begitu aku memanggilnya, sudah tiba duluan menggunakan sepeda motornya.

Aku disambut oleh keluarga Pak Timin di rumahnya. Pak Timin tinggal dengan istri, dua orang anak laki-laki, seorang menantu serta cucunya yang masih berumur 3 tahun. Hal pertama yang kulakukan setelah tiba di rumah keluarga Pak Timin adalah mandi. Selesai mandi aku diajak makan malam di rumah mereka.

Malam itu kami habiskan dengan mengobrol banyak hal. Yang paling banyak mendapatkan porsi pembicaraan adalah tentang kota Palangka Raya dan Salatiga, mulai dari geografisnya, latar belakang sampai mata pencaharian utama masyarakatnya. Kami tidak banyak membicarakan mengenai agama, kecuali hanya hal-hal mendasar saja. Karena bagi kami saat itu sudah jelas, kami tidak memiliki kepentingan apapun untuk menginterogasi agama lawan bicara. Bahkan dengan mas Daniel, anak kedua Pak Timin, kami lebih sering membicarakan sepak bola.

Mas Alih adalah anak pertama Pak Timin, dan kakak kandung dari mas Daniel. Mas Alih sudah menikah dan mempunyai anak berumur 3 tahun, lelaki kecil bernama Kristo. Ada kenangan tersendiri jika berbicara tentang Kristo.

Dari awal kedatanganku, Kristo adalah yang paling antusias. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah mereka, Kristo sudah mulai penasaran tentang siapa aku. Kusunggingkan senyum sambil menyapanya ketika pertama bertemu. Sejak saat itu Kristo menjadi lengket denganku. Dia selalu duduk di pangkuanku saat aku mengobrol dengan seisi rumah. Sambil sesekali beranjak, dia selalu memeluk dan mencium pipiku. Aiih, anak kecil yang manis. Kristo selalu bertanya banyak hal tentangku. Kujawab pertanyaan yang dia ajukan sambil kupeluk dirinya ketika duduk di pangkuanku. Keadaan ini tentu cukup aneh bagi sebagian orang, karena kami baru kali itu bertemu. Tidak terkecuali bagi istri Pak Timin, neneknya Kristo. Sampai-sampai beliau bertanya kepada Kristo, “kamu gak takut le sama om?”. Alih-alih menjauh, Kristo justru kembali memeluk dan mencium pipiku, kemudian menjawab “enggak mbah”. “Kan baru ketemu sama om nya” timpal sang nenek. “Gak takut kok mbaaah” jawab kristo dengan nada imutnya, khas anak kecil. “Kenapa gak takut?” lanjut Bu Timin. “Om nya kan baik, gak jahaaat” ucap Kristo sambil beranjak dari pangkuanku dan mengambil mainannya. “Tau darimana Kristo kalau om nya gak jahat?” kembali neneknya bertanya. Kristo mendekatiku dan memegang wajahku. “Om, om jahat gak?” tanyanya dengan wajah polos. “Menurut Kristo?” kujawab dengan diplomatis. “Om baik kok” jawabnya. Kembali pipiku dihujani ciuman anak kecil itu dan aku juga mencium pipinya berulang kali. Sungguh ada perasaan aneh yang berkecamuk ketika ia berkata seperti itu. “Apakah aku orang baik? Apakah memang benar aku orang baik?” pertanyaan itu terus berulang di dalam hatiku.

Malam itu, aku terus merenungkan percakapanku dengan Kristo. Anak sepolos itu tidak memandangku berdasarkan agamaku. Seandainya dia tahu bahwa aku seorang muslim, apakah dia akan tetap seperti itu? Atau mungkin pertanyaan yang lebih tepat adalah, seandainya pun dia tahu aku seorang muslim, dan mereka dari keluarga kristiani, apakah dia peduli? Tidak sekalipun dia bertanya apa agamaku. Justru yang ditanyakannya adalah apakah aku orang yang baik. Khayalanku terus terbang ke berbagai penjuru bumi ini, mengingatkanku akan banyaknya konflik-konflik yang mengatasnamakan agama terjadi, mengingatkanku akan banyaknya diskriminasi-diskriminasi yang mengatasnamakan perbedaan agama terjadi. Namun malam itu, seorang lelaki kecil mengingatkanku, apakah aku orang yang baik, apakah aku orang yang cukup baik, untuk mendapatkan ciuman kedamaian dari seorang anak kristiani.

...Bersambung...

Tidak ada komentar: