Dari
Percik Menuju Induk Semang, Mencari Identitas Kebaikan
Pukul
4 pagi aku sudah terbangun. Ada rasa malas untuk beranjak dari kasur karena
cuaca yang cukup dingin dan sejuk, terlebih teman-teman (peserta IYP laki-laki)
yang lain masih tertidur pulas. Saat bumi Salatiga sudah agak terang, sekitar
pukul 5 pagi, aku pun menjelajahi lingkungan sekitar Kampoeng Percik. Percik
berada di dataran tinggi, lereng gunung, yang asri dan memiliki keindahan murni,
sekitar 10 menit perjalanan darat dari kota Salatiga. Berada di Percik
seakan-akan sama dengan berada di sebuah kampung di dalam hutan. Suara tokek,
suara jangkrik, dapat didengar kapan saja. Hanya saja, keasrian dan kemurnian
lingkungan Percik terganggu dengan adanya bau tidak sedap yang berasal dari
pabrik pemotongan ayam, tepat di depan lingkungan Kampoeng Percik.
Keindahan
lingkungan Kampoeng Percik tidak kusia-siakan begitu saja. Ritual perjalanan
anak muda sudah pasti akan kulakukan. Bermodal kamera pocket, kupotret semua
pemandangan indah disana. Mulai dari sawah pertanian, pepohonan, dan pegunungan
tidak luput dari sasaran kamera. Setelah dirasa cukup, aku kembali ke Percik.
Sebelumnya aku sempat singgah di sebuah warung di dekat situ dan mengobrol
dengan warga sekitar sambil menyantap beberapa kue molen yang enak dan murah -1
kue seharga Rp500.
Pagi
itu kami akan melakukan aktifitas senam poco-poco, sesuai dengan kesepakatan
malam sebelumnya. Hanya saja, disebabkan satu dan lain hal, kami mengubahnya
menjadi jogging keluar Kampoeng Percik. Aku tidak ikut lari, sebab aku sedang
menunggu seorang teman lama yang akan menjemputku berkeliling kota Salatiga.
Kota
Kecil 4 Gunung
Nino,
teman seperjuanganku selama dua bulan di Amerika dalam program SUSI RPA, tiba
di Percik sekitar pukul 6.20 pagi. Dia adalah penduduk asli Salatiga. Pagi itu,
dia menjemputku untuk diajak berkeliling kota Salatiga menggunakan sepeda
motor. Hampir 9 bulan sejak kami terakhir bertemu. Tidak ada perubahan fisik
yang berarti darinya. Tetap lebih tinggi dariku.
Salatiga
adalah kota yang kaya akan keberagaman penduduknya. Kota penghasil berbagai
macam kerajinan ini adalah kota yang damai dan jauh dari potensi konflik.
Perbedaan suku dan agama bukanlah masalah berarti bagi warga Salatiga. Warga
setempat bahkan secara tidak tertulis seakan menyepakati bahwa Salatiga menolak
berbagai macam bentuk perselisihan atas nama agama.
Dari
segi geografis, kota Salatiga terletak di antara 4 gunung, salah satunya adalah
Merbabu dan Merapi. Hawa sejuk akan menyapa semua orang di kota ini. Salatiga
adalah kota yang kecil namun sudah sangat tua. Kota ini sudah berumur lebih
dari 1.200an tahun. Sejarah mengatakan bahwa Salatiga mempunyai peranan penting
dalam salah satu perjalanan kerajaan Mataram Hindu.
Ada
banyak tempat-tempat yang wajib dikunjungi jika berada di kota ini. Mulai dari
lapangan Pancasila, berbagai perguruan tinggi yang ada di kota Salatiga, patung
Jenderal Sudirman, perpustakaan, wisata Kopeng, wisata kuliner khas Salatiga,
hingga tempat-tempat bagus lainnya. Hanya saja keterbatasan waktu membuatku
tidak bisa sesuka hati mengeksplor keunikan Salatiga. Hanya beberapa tempat
saja yang sempat kukunjungi. Aku tetap harus fokus pada kegiatan IYP, karena
program inilah aku bisa berada disini. Pagi itu, aku dan nino berkeliling ke
beberapa tempat terdekat di Salatiga. Berada di antara beberapa gunung, membuat
jalan yang kami lalui naik turun. Petualangan kami terhenti sejenak untuk
menuntaskan rasa lapar. Kami sarapan di sebuah warung makan yang menyediakan
makanan tradisional. Aku mencoba menu sup bening khas Salatiga dan beberapa kue
khas yang aku lupa namanya.
Setelah
mengisi ulang energi, kami melanjutkan perjalanan menuju STAIN Salatiga, tempat
dimana Nino kuliah, begitu pula Annur, salah seorang peserta IYP. STAIN
Salatiga adalah perguruan tinggi Islam yang ada di kota Salatiga. Memiliki
gedung-gedung yang cukup modern, serta gedung perkuliahan dengan 3 lantai.
STAIN Salatiga terbagi menjadi dua kampus, kampus A dan kampus B. Kami hanya sempat
mengunjungi kampus A, tempat dimana Nino biasa kuliah. Dari pintu gerbang, kita
bisa melihat keindahan gunung Merbabu yang menjulang tinggi di antara
bangunan-bangunan yang ada di Salatiga.
Tempat
terakhir yang kami kunjungi adalah Panti Asuhan Abu Huroiroh, sebuah panti
asuhan yang menampung anak-anak yang kehilangan orang tuanya, maupun anak-anak
yang berada dalam garis kemiskinan. Ada satu hal yang unik dari panti asuhan
ini yaitu pengajarnya yang kebanyakan berasal dari luar negeri. Tidak kurang pemuda
dari Perancis, Jerman, Amerika Serikat, India, dan Jepang pernah mengabdikan
dirinya disini. Panti asuhan ini bekerja sama dengan IIWC, sebuah organisasi
volunteering, untuk menyalurkan pemuda-pemuda di seluruh dunia yang berminat
mengabdikan dirinya di jalur sosial, salah satunya pendidikan gratis bagi anak
yang kurang mampu. Nino adalah salah satu staff pengajar di panti asuhan itu,
selain memang dia sudah sejak lama tinggal disana.
Persemaian Cinta Kemanusiaan
Jam
8 kurang 10 menit, kami sudah tiba kembali di Kampoeng Percik. Nino berpamitan
dan kembali ke kota Salatiga. Kami kembali harus berpisah setelah sekian lama
tidak bertemu pasca program SUSI RPA. Pagi itu, peserta IYP akan mendengarkan
pemaparan terkait dengan sejarah dan arah tujuan Percik (Persemaian Cinta
Kemanusiaan).
Percik
merupakan lembaga yang didirikan pada tahun 1996 oleh sejumlah ilmuwan yang
berlatar belakang dosen, peneliti, dan aktifis sosial. Sejumlah dosen UKSW,
universitas terkemuka di Salatiga, terpaksa keluar karena menolak beberapa
kebijakan dari pengurus yayasan dan pimipinan universitas yang dinilai tidak
demokratis, bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, dan tidak menjunjung
tinggi kebebasan akademis serta otonomi kampus. Berdirinya Lembaga Percik
merupakan wadah baru untuk mewujudkan idealisme mereka mengenai masyarakat yang
demokratis dan berkeadilan sosial. Percik disebut juga Kampoeng Percik sebab di
dalamnya terdapat beberapa rumah tradisional sehingga lebih mirip sebuah
kampung kecil. Percik berfokus pada bidang penelitian dan advokasi.
Dr.
Pradjarta dan sejumlah pengurus Kampoeng Percik menjelaskan banyak hal kepada
kami. Dari situ aku dapat menangkap tingginya semangat yang mereka pegang teguh
dalam memperjuangkan idealisme mereka. Nandur pari jero adalah ungkapan yang
menggambarkan semangat spiritual mereka. Berjuang dengan ikhlas tanpa melihat
hasil, dan yakin bahwa hasil manis itu akan direguk oleh generasi selanjutnya.
Berjuang untuk anak cucu mereka. Berjuang untuk kehidupan yang lebih baik bagi
seluruh manusia. Setidaknya itulah yang kulihat dari sejarah perjalanan
Kampoeng Percik.
Setelah
sesi diskusi selesai, Dr. Pradjarta mengajak kami ke perpustakaan yang ada
disana. Kami melihat-lihat seisi perpustakaan tersebut. Tampak banyak sekali
buku-buku yang merepresentasikan idealisme Kampoeng Percik. Dr. Pradjarta
menjelaskan beberapa hal terkait perpustakaan tersebut. Ternyata Kampoeng
Percik juga memiliki badan penerbitan tersendiri. Banyak buku-buku yang
diterbitkan oleh Kampoeng Percik. Tentunya hanya buku-buku yang sejalan dengan
idealisme Kampoeng Percik. Aku sangat senang ketika Dr. Pradjarta mengumumkan
akan membagikan beberapa buku secara gratis kepada kami. Bagiku, tidak ada
hadiah yang paling berkesan selain buku-buku bermanfaat. Dan aku tambah
bersemangat ketika melihat buku Pro Rakyat Miskin, yang dari awal masuk
ke perpustakaan sudah kumasukkan list must buy and read, termasuk buku
yang akan dibagikan kepada kami. Setidaknya ada 6 buku yang kudapatkan pada
hari itu. Sounds great, right ?
"..."
Siang
itu, sesi diskusi akan berlanjut. Hanya saja materi yang akan dibahas kali ini
adalah tips menulis artikel di media massa. Seorang wartawan senior Joglo
Semar, media cetak lokal, sengaja didatangkan. Aku tidak terlalu fokus
mengikuti sesi kali ini. Padahal materi yang akan disampaikan sangatlah menarik
dan membantu meningkatkan kualitas tulisan. Hanya saja tidak kurang dari 6 kali
telepon masuk ke handphone milikku dalam rentang waktu 1 jam. Hal ini bermuara
pada persiapan kegiatan yang akan dilaksanakan di kampusku, STAIN Palangka
Raya. Ada beberapa permasalahan yang menuntut solusi secepat mungkin terkait
persiapan tersebut. Tentu cukup menyita perhatianku, sehingga konsentrasiku
buyar saat mengikuti materi siang itu.
Sesi
selanjutnya adalah pengenalan gerakan Sobat. Pada sesi ini, aku mencoba
mengikutinya sebaik mungkin sebagai ganti sesi sebelumnya. Sobat adalah sebuah
gerakan yang menyatukan penganut berbagai agama di dalam satu wadah bersama. Di
dalam Sobat, tidak mengenal lagi istilah perbedaan agama, dan seluruh anggotanya
akan melakukan suatu hal bersama-sama untuk kemajuan bersama. Gagasan pendirian
gerakan Sobat bermula di Kampoeng Percik.
Aku
mencoba menghibur diri sesekali saat materi Sobat masih berlangsung ketika
kembali teringat permasalahan yang kubicarakan dengan temanku via telepon
sebelumnya. Puncaknya adalah saat aku mengerjai beberapa temanku yang fokus
memperhatikan paparan Sobat. Aku meminta selembar kertas pada Fahmi yang duduk
di sampingku pada saat itu. Kemudian, di kertas tersebut kutulis
Jangan dibuka, tidak ada apa-apa
di dalamnya. Aku hanya iseng ingin ngerjain kalian.
Kertas
itu kulipat sehingga tulisan tersebut tersembunyi di balik lipatan tersebut.
Aku meminta kepada teman-teman yang duduk di sebelah kiri ku untuk memberikan
kertas tersebut kepada Rudi yang duduk di meja paling ujung sambil berpesan,
“Kasihkan ke Rudi, jangan dibuka yaa” pintaku. Aku sengaja mengucapkan hal itu
untuk memancing rasa penasaran teman-temanku. Satu dua orang lolos, dan
akhirnya ketika kertas tersebut melewati orang ketiga, dia membukanya! Aku
sengaja memperhatikannya saat dia membuka kertas tersebut. Dia tertawa saat
membaca tulisan yang ada di dalamnya dan kemudian melihat ke arahku. Aku tidak
bisa menahan untuk tidak tertawa ketika melihat ekspresinya saat menatapku. Ada
sedikit rasa jengkel yang tergambar dari wajahnya ketika dia melihat ke arahku.
Kemudian dia ikut tertawa kecil ketika menyaksikan aku tertawa geli karena
berhasil mengerjainya. Dia melipat kertas itu kembali dan melanjutkan
perjalanan dari kertas tersebut yang akhirnya kembali memakan beberapa korban
penipuan XD.
Berbeda
Agama Tidak Mesti Tidak Bekerja Sama
Setelah
pemaparan mengenai Sobat selesai, kami akan memasuki sesi yang lebih khusus
untuk mengetahui perihal Sobat lebih mendalam. Seluruh peserta IYP dibagi
menjadi 3 kelompok dimana masing-masing akan membahas mengenai Sobat lebih
rinci lagi. Sobat sendiri dibagi menjadi beberapa ranah yang berbeda,
disesuaikan dengan usia anggotanya. Setidaknya ada Sobat Anak, Sobat Muda, dan
Sobat secara umum yang anggotanya merupakan orang-orang dewasa. Setiap kelompok
akan membahas salah satu dari bagian Sobat. Aku sendiri termasuk ke dalam
kelompok yang akan membahas Sobat Muda. Dengan ditemani beberapa anggota Sobat
Muda seperti Manto, Ridwan, dan yang lainnya, kami juga ditemani oleh Mbak
Ambar, salah seorang aktifis Percik yang juga pentolan Sobat Muda.
Sobat
Muda merupakan salah satu pembagian dari Sobat. Sesuai namanya, Sobat Muda
merupakan wadah para pemuda antar agama untuk bersatu menyelesaikan permasalahan
bersama. Hal yang menarik dari Sobat Muda adalah para anggotanya tidak terlalu
tertarik membahas perbedaan agama, tetapi mereka lebih fokus mengembangkan diri
bersama-sama. Seperti salah satu kegiatannya dimana para anggota Sobat Muda
bersama-sama belajar mengenai cara membuat film dokumenter, dan hasilnya mereka
sudah memiliki beberapa karya film dokumenter buatan sendiri. Kegiatan-kegiatan
yang dilakukan oleh Sobat Muda lebih banyak berkaitan dengan jiwa kepemudaan
yang ingin mengeksplor dan mengembangkan hal-hal baru yang tentunya bermanfaat.
Inilah yang selama ini kucari, dan akhirnya kudapatkan disini, di Kampoeng
Percik.
Ciuman
Kedamaian Seorang Anak Kristiani
Waktu
sudah menunjukkan pukul setengah 5 sore ketika kami berkemas meninggalkan
Kampoeng Percik. Tujuan kami selanjutnya adalah GKJ Sidomukti untuk menemui
keluarga asuh yang akan menjadi tempat kami tinggal malam ini. Ketika kami tiba
di GKJ Sidomukti, sudah banyak orang-orang disana menunggu kami. Hari ini
seluruh peserta IYP yang muslim akan tinggal di rumah jemaat GKJ Sidomukti,
sedangkan peserta IYP yang non-muslim akan tinggal di Pesantren Edi Mancoro
yang terletak dekat dengan Salatiga.
Rumah
Pak Yohanes Sutimin adalah rumah yang akan menjadi persinggahanku untuk malam
ini. Terletak di dusun Kenteng, sebuah dusun di pinggiran kota Salatiga. Aku
tiba sekitar pukul 6 petang hari dengan diantar oleh jemaat GKJ Sidomukti yang
lain menggunakan mobilnya bersama Fahmi dan Rudi, yang kebetulan keluarga
asuhnya juga tinggal di dusun Kenteng. Pak Timin, begitu aku memanggilnya,
sudah tiba duluan menggunakan sepeda motornya.
Aku
disambut oleh keluarga Pak Timin di rumahnya. Pak Timin tinggal dengan istri,
dua orang anak laki-laki, seorang menantu serta cucunya yang masih berumur 3
tahun. Hal pertama yang kulakukan setelah tiba di rumah keluarga Pak Timin
adalah mandi. Selesai mandi aku diajak makan malam di rumah mereka.
Malam
itu kami habiskan dengan mengobrol banyak hal. Yang paling banyak mendapatkan
porsi pembicaraan adalah tentang kota Palangka Raya dan Salatiga, mulai dari
geografisnya, latar belakang sampai mata pencaharian utama masyarakatnya. Kami
tidak banyak membicarakan mengenai agama, kecuali hanya hal-hal mendasar saja.
Karena bagi kami saat itu sudah jelas, kami tidak memiliki kepentingan apapun
untuk menginterogasi agama lawan bicara. Bahkan dengan mas Daniel, anak kedua
Pak Timin, kami lebih sering membicarakan sepak bola.
Mas
Alih adalah anak pertama Pak Timin, dan kakak kandung dari mas Daniel. Mas Alih
sudah menikah dan mempunyai anak berumur 3 tahun, lelaki kecil bernama Kristo.
Ada kenangan tersendiri jika berbicara tentang Kristo.
Dari
awal kedatanganku, Kristo adalah yang paling antusias. Ketika pertama kali
menginjakkan kaki di rumah mereka, Kristo sudah mulai penasaran tentang siapa
aku. Kusunggingkan senyum sambil menyapanya ketika pertama bertemu. Sejak saat
itu Kristo menjadi lengket denganku. Dia selalu duduk di pangkuanku saat aku
mengobrol dengan seisi rumah. Sambil sesekali beranjak, dia selalu memeluk dan
mencium pipiku. Aiih, anak kecil yang manis. Kristo selalu bertanya banyak hal
tentangku. Kujawab pertanyaan yang dia ajukan sambil kupeluk dirinya ketika
duduk di pangkuanku. Keadaan ini tentu cukup aneh bagi sebagian orang, karena
kami baru kali itu bertemu. Tidak terkecuali bagi istri Pak Timin, neneknya
Kristo. Sampai-sampai beliau bertanya kepada Kristo, “kamu gak takut le sama
om?”. Alih-alih menjauh, Kristo justru kembali memeluk dan mencium pipiku,
kemudian menjawab “enggak mbah”. “Kan baru ketemu sama om nya” timpal sang
nenek. “Gak takut kok mbaaah” jawab kristo dengan nada imutnya, khas anak
kecil. “Kenapa gak takut?” lanjut Bu Timin. “Om nya kan baik, gak jahaaat” ucap
Kristo sambil beranjak dari pangkuanku dan mengambil mainannya. “Tau darimana
Kristo kalau om nya gak jahat?” kembali neneknya bertanya. Kristo mendekatiku
dan memegang wajahku. “Om, om jahat gak?” tanyanya dengan wajah polos. “Menurut
Kristo?” kujawab dengan diplomatis. “Om baik kok” jawabnya. Kembali pipiku
dihujani ciuman anak kecil itu dan aku juga mencium pipinya berulang kali.
Sungguh ada perasaan aneh yang berkecamuk ketika ia berkata seperti itu.
“Apakah aku orang baik? Apakah memang benar aku orang baik?” pertanyaan itu
terus berulang di dalam hatiku.
Malam
itu, aku terus merenungkan percakapanku dengan Kristo. Anak sepolos itu tidak
memandangku berdasarkan agamaku. Seandainya dia tahu bahwa aku seorang muslim,
apakah dia akan tetap seperti itu? Atau mungkin pertanyaan yang lebih tepat
adalah, seandainya pun dia tahu aku seorang muslim, dan mereka dari keluarga
kristiani, apakah dia peduli? Tidak sekalipun dia bertanya apa agamaku. Justru
yang ditanyakannya adalah apakah aku orang yang baik. Khayalanku terus terbang
ke berbagai penjuru bumi ini, mengingatkanku akan banyaknya konflik-konflik
yang mengatasnamakan agama terjadi, mengingatkanku akan banyaknya
diskriminasi-diskriminasi yang mengatasnamakan perbedaan agama terjadi. Namun
malam itu, seorang lelaki kecil mengingatkanku, apakah aku orang yang baik,
apakah aku orang yang cukup baik, untuk mendapatkan ciuman kedamaian dari
seorang anak kristiani.
...Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar