Sunrise di Gunung Lawu
Hari
keempat dalam program IYP kami berada di desa Beruk, Karanganyar. Desa Beruk
merupakan sebuah desa yang berada di lereng gunung Lawu. Desa ini terletak di
ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut, setengah dari puncak gunung Lawu
yang memiliki ketinggian lebih dari 2.000 meter. Kami menginap di sebuah rumah
kosong milik seorang mualaf asal Australia yang sekarang tinggal disana.
Aku
bangun seperti biasa pada pukul 4 pagi. Cuaca yang cukup dingin membuatku malas
keluar dari rumah tersebut dan lebih memilih tetap disana. Suara adzan sudah
terdengar namun aku merasa cukup berat untuk keluar rumah sehingga kuputuskan
untuk sholat di situ saja.
Pukul
5 aku beranikan keluar rumah untuk melihat keindahan pagi di lereng gunung Lawu.
Kuambil banyak sekali foto pemandangan sekitar. Pemandangan yang tersaji di
hadapanku sangat indah. Pagi itu banyak warga sekitar yang berjalan kaki menuju
ladang. Mereka sangat ramah dan tidak jarang menyapaku terlebih dahulu. Aku
teringat akan pengalamanku saat Kuliah Kerja Nyata di sebuah desa transmigran
di Kalimantan Tengah dimana penduduknya mayoritas suku Jawa yang sangat ramah.
Aku berbincang-bincang sebentar dengan seorang warga. Beliau menyarankanku
untuk mendaki lebih tinggi lagi melalui sebuah tangga menuju tempat paling
tinggi di desa tersebut.
158 anak tangga menuju puncak desa Beruk |
Aku
menunggu selama hampir 30 menit disana untuk menyaksikan sunrise dari gunung
Lawu sambil memakan gorengan yang kubeli sebelumnya di dekat Pesantren Urwatul
Wutsqo. Sangat banyak sekali foto yang kuambil. Aku menyapa warga sekitar yang
kebetulan lewat dan melihatku dengan heran –mungkin karena mereka belum pernah
melihatku sebelumnya di desa ini- untuk menghilangkan kejenuhanku menunggu
terbitnya mentari pagi. Akhirnya aku dapat menyaksikan sunrise di gunung Lawu.
Matahari terbit dan diapit oleh dua buah gunung lain yang tidak kuketahui
namanya. Sangat indah sekali. Sayangnya aku hanya bisa menyaksikan sunrise
dalam waktu relatif singkat, sebab matahari terhalang oleh kumpulan awan-awan
yang cukup tebal.
Puas
menyaksikan sunrise aku turun kembali dan menuju ke rumah tempat kami menginap.
Menuruni 158 anak tangga ternyata lebih mudah daripada menaikinya. Apalagi
kalau langsung terjun bebas, akan jauh lebih mudah XD.
Pesantren Multikulturalisme, Pesantren Nasionalisme
Diskusi
pada pagi hari ini mengambil topik Pesantren dan Multikulturalisme yang
dilaksanakan di gedung pertemuan pesantren Urwatul Wutsqo. Dewasa ini, banyak
pihak yang tidak memahami Islam menduga bahwa pesantren adalah tempat yang
mengajarkan anti keberagaman, dan hal ini didukung oleh pemberitaan media yang
tidak berimbang. Pesantren digambarkan sebagai pencetak generasi Islam garis
keras yang menolak setiap paham yang berbeda, bahkan yang paling menyedihkan
saat ada yang beranggapan bahwa pesantren adalah sarang teroris. Beruntung kami
dapat mendengarkan banyak sekali pencerahan yang diberikan oleh Dr. Umay M. Djaffar,
ketua Yayasan Darul Amal yang menaungi pesantren Urwatul Wutsqo di desa Beruk,
yang menjelaskan betapa Islam mengakui dan sangat menghargai multikulturalisme.
Islam
meletakkan konsep multikulturalisme dengan proporsional. Perbedaan yang ada di
muka bumi ini merupakan sunnatullah (ketentuan Tuhan). Dengan adanya
perbedaan itu dunia menjadi indah, tidak ada kejenuhan di dalamnya. Seperti
pelangi yang menjadi indah karena terdiri dari banyak warna. Seandainya pelangi
hanya berwarna merah atau hijau, maka tidak akan ada orang yang mengagumi
keindahan garis pelangi di langit. Dr. Umay menjelaskan hal ini dengan sangat
rapi, berlandaskan sumber-sumber otentik dalam Islam. Dengan lugas beliau
menegaskan pengakuan dan penghargaan Islam terhadap multikulturalisme.
Diselingi dengan humor ringan nan cerdas membuat hadirin tidak bosan
mendengarkan pemaparan beliau, seperti humor bahwa perbedaan itu indah dan bisa
dianalogikan dengan perbedaan jenis kelamin pasangan suami istri, dimana satu
pihak memiliki sesuatu yang tidak dimiliki pihak lainnya, begitu pula
sebaliknya. Suami istri justru saling melengkapi berkat perbedaan itu dan
bahkan menghasilkan –anak. Bayangkan betapa anehnya jika suami istri tidak
berbeda alias sama, maka yang terjadi justru menyalahi takdir –perang sesama.
Sekali lagi Islam mengakui dan menempatkan perbedaan secara proporsional.
Waktu
yang diberikan oleh panitia seakan kurang, sebab masih banyak hadirin yang
memiliki pertanyaan terkait paparan Dr. Umay. Peserta IYP baik yang muslim maupun
non-muslim tertarik dengan esensi materi yang disajikan, terlebih disampaikan
melalui cara yang halus namun tegas. Berkah bagi para hadirin yang terdiri dari
peserta dan panitia IYP, tamu undangan, dan warga sekitar, sesaat setelah
diskusi ditutup hujan mengguyur desa Beruk sehingga Dr. Umay harus tertahan
lebih lama di gedung pertemuan pesantren. Hal ini dimanfaatkan oleh sebagian
peserta untuk bertanya kembali banyak hal kepada Dr. Umay.
Percikan
Surga Makanan
Siang
itu kami kembali harus melanjutkan perjalanan dengan tujuan utama Salatiga.
Tapi sebelum itu kami akan singgah di Palur, sebuah kota kecil di Jawa Tengah.
Setelah berpamitan dengan Kyai pengasuh pesantren Urwatul Wutsqo, kami pergi
menggunakan minibus yang sama persis dengan minibus yang kami tumpangi sehari
sebelumnya saat menuju desa Beruk, hanya saja dengan komposisi penumpang yang
agak berbeda –Wawan menumpang mobil yang lain. Kami berganti kendaraan dengan
menumpangi bis yang besar setelah mencapai desa terdekat yang memiliki jalan agak
lebar dan memungkinkan bis untuk memasukinya.
Patung Semar menyambut setiap tamu GKJ Dagen |
Setelah
diskusi di Wisma Semar, gedung pertemuan GKJ Dagen, yang diikuti oleh para
peserta dengan antusias, kami harus melanjutkan kembali perjalanan kami menuju
Kampung PERCIK (Persemaian Cinta Kemanusiaan) di Salatiga. Hampir di separo
perjalanan kugunakan untuk tidur. Aku dibangunkan oleh kawan-kawan yang duduk
di sampingku di kursi paling belakang –tempat duduk favoritku di bis. Dengan
kesadaran yang belum sepenuhnya pulih aku hanya memandang heran kepada
kawan-kawan yang sangat gembira sambil mengambil banyak makanan yang tersedia
di salah satu bangunan Kampoeng Percik. Aku mencuci muka dan meminum beberapa
gelas air sampai akhirnya aku sadar penuh, bahwa aku telah datang di salah satu
pesta, baazar makanan. Disitu tersedia nasi goreng, bakso, dan ronde yang dapat
diambil sesuka hati. Penjual nasi goreng dan bakso bahkan sengaja didatangkan
untuk memuaskan kerinduan peserta IYP, khususnya dalam menyantap bakso. Jika
ada pepatah yang terkenal, patah satu tumbuh seribu, maka pepatah yang kami
gunakan adalah habis satu ambil lagi yang baru XD. Welcome to the fooden.
Fooden adalah akronim asal
dari food eden/food heaven yang artinya surga makanan.
…Bersambung…
13 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar