Jumat, 29 November 2013

Tangga Menuju Puncak Kedamaian


 Sunrise di Gunung Lawu
Pemandangan Desa Beruk, Lereng Gunung Lawu
Hari keempat dalam program IYP kami berada di desa Beruk, Karanganyar. Desa Beruk merupakan sebuah desa yang berada di lereng gunung Lawu. Desa ini terletak di ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut, setengah dari puncak gunung Lawu yang memiliki ketinggian lebih dari 2.000 meter. Kami menginap di sebuah rumah kosong milik seorang mualaf asal Australia yang sekarang tinggal disana.

Aku bangun seperti biasa pada pukul 4 pagi. Cuaca yang cukup dingin membuatku malas keluar dari rumah tersebut dan lebih memilih tetap disana. Suara adzan sudah terdengar namun aku merasa cukup berat untuk keluar rumah sehingga kuputuskan untuk sholat di situ saja.
Pemandangan dari tempat tertinggi di desa Beruk
Pukul 5 aku beranikan keluar rumah untuk melihat keindahan pagi di lereng gunung Lawu. Kuambil banyak sekali foto pemandangan sekitar. Pemandangan yang tersaji di hadapanku sangat indah. Pagi itu banyak warga sekitar yang berjalan kaki menuju ladang. Mereka sangat ramah dan tidak jarang menyapaku terlebih dahulu. Aku teringat akan pengalamanku saat Kuliah Kerja Nyata di sebuah desa transmigran di Kalimantan Tengah dimana penduduknya mayoritas suku Jawa yang sangat ramah. Aku berbincang-bincang sebentar dengan seorang warga. Beliau menyarankanku untuk mendaki lebih tinggi lagi melalui sebuah tangga menuju tempat paling tinggi di desa tersebut.

158 anak tangga menuju puncak desa Beruk
Aku menemukan tangga yang dimaksud oleh warga sebelumnya. Dengan susah payah aku menaiki satu persatu tangga yang belakangan kuketahui berjumlah 158 anak tangga. Kaki terasa agak pegal namun lunas terbayarkan ketika aku berada di akhir anak tangga. Pemandangan gunung Lawu sangat indah. Ada banyak desa-desa lain yang berada di lereng gunung Lawu yang dapat kusaksikan. Ciptaan Tuhan memang sangat menakjubkan.

Aku menunggu selama hampir 30 menit disana untuk menyaksikan sunrise dari gunung Lawu sambil memakan gorengan yang kubeli sebelumnya di dekat Pesantren Urwatul Wutsqo. Sangat banyak sekali foto yang kuambil. Aku menyapa warga sekitar yang kebetulan lewat dan melihatku dengan heran –mungkin karena mereka belum pernah melihatku sebelumnya di desa ini- untuk menghilangkan kejenuhanku menunggu terbitnya mentari pagi. Akhirnya aku dapat menyaksikan sunrise di gunung Lawu. Matahari terbit dan diapit oleh dua buah gunung lain yang tidak kuketahui namanya. Sangat indah sekali. Sayangnya aku hanya bisa menyaksikan sunrise dalam waktu relatif singkat, sebab matahari terhalang oleh kumpulan awan-awan yang cukup tebal.

Puas menyaksikan sunrise aku turun kembali dan menuju ke rumah tempat kami menginap. Menuruni 158 anak tangga ternyata lebih mudah daripada menaikinya. Apalagi kalau langsung terjun bebas, akan jauh lebih mudah XD.
Sunrise di gunung Lawu
Pesantren Multikulturalisme, Pesantren Nasionalisme
Anak-Anak Mentari
Diskusi pada pagi hari ini mengambil topik Pesantren dan Multikulturalisme yang dilaksanakan di gedung pertemuan pesantren Urwatul Wutsqo. Dewasa ini, banyak pihak yang tidak memahami Islam menduga bahwa pesantren adalah tempat yang mengajarkan anti keberagaman, dan hal ini didukung oleh pemberitaan media yang tidak berimbang. Pesantren digambarkan sebagai pencetak generasi Islam garis keras yang menolak setiap paham yang berbeda, bahkan yang paling menyedihkan saat ada yang beranggapan bahwa pesantren adalah sarang teroris. Beruntung kami dapat mendengarkan banyak sekali pencerahan yang diberikan oleh Dr. Umay M. Djaffar, ketua Yayasan Darul Amal yang menaungi pesantren Urwatul Wutsqo di desa Beruk, yang menjelaskan betapa Islam mengakui dan sangat menghargai multikulturalisme.
Berfoto bersama Dr. Umay
Islam meletakkan konsep multikulturalisme dengan proporsional. Perbedaan yang ada di muka bumi ini merupakan sunnatullah (ketentuan Tuhan). Dengan adanya perbedaan itu dunia menjadi indah, tidak ada kejenuhan di dalamnya. Seperti pelangi yang menjadi indah karena terdiri dari banyak warna. Seandainya pelangi hanya berwarna merah atau hijau, maka tidak akan ada orang yang mengagumi keindahan garis pelangi di langit. Dr. Umay menjelaskan hal ini dengan sangat rapi, berlandaskan sumber-sumber otentik dalam Islam. Dengan lugas beliau menegaskan pengakuan dan penghargaan Islam terhadap multikulturalisme. Diselingi dengan humor ringan nan cerdas membuat hadirin tidak bosan mendengarkan pemaparan beliau, seperti humor bahwa perbedaan itu indah dan bisa dianalogikan dengan perbedaan jenis kelamin pasangan suami istri, dimana satu pihak memiliki sesuatu yang tidak dimiliki pihak lainnya, begitu pula sebaliknya. Suami istri justru saling melengkapi berkat perbedaan itu dan bahkan menghasilkan –anak. Bayangkan betapa anehnya jika suami istri tidak berbeda alias sama, maka yang terjadi justru menyalahi takdir –perang sesama. Sekali lagi Islam mengakui dan menempatkan perbedaan secara proporsional.

Waktu yang diberikan oleh panitia seakan kurang, sebab masih banyak hadirin yang memiliki pertanyaan terkait paparan Dr. Umay. Peserta IYP baik yang muslim maupun non-muslim tertarik dengan esensi materi yang disajikan, terlebih disampaikan melalui cara yang halus namun tegas. Berkah bagi para hadirin yang terdiri dari peserta dan panitia IYP, tamu undangan, dan warga sekitar, sesaat setelah diskusi ditutup hujan mengguyur desa Beruk sehingga Dr. Umay harus tertahan lebih lama di gedung pertemuan pesantren. Hal ini dimanfaatkan oleh sebagian peserta untuk bertanya kembali banyak hal kepada Dr. Umay.
Sang Saka berkibar di atap Pesantren Nasionalisme
Percikan Surga Makanan

Siang itu kami kembali harus melanjutkan perjalanan dengan tujuan utama Salatiga. Tapi sebelum itu kami akan singgah di Palur, sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Setelah berpamitan dengan Kyai pengasuh pesantren Urwatul Wutsqo, kami pergi menggunakan minibus yang sama persis dengan minibus yang kami tumpangi sehari sebelumnya saat menuju desa Beruk, hanya saja dengan komposisi penumpang yang agak berbeda –Wawan menumpang mobil yang lain. Kami berganti kendaraan dengan menumpangi bis yang besar setelah mencapai desa terdekat yang memiliki jalan agak lebar dan memungkinkan bis untuk memasukinya.

Patung Semar menyambut setiap tamu GKJ Dagen
Hampir satu jam kami menempuh perjalanan darat hingga akhirnya tiba di GKJ Dagen di Palur. GKJ Dagen memiliki sebuah gereja dengan konsep yang unik, yakni dengan lebih mengutamakan kearifan lokal, khususnya yang berhubungan dengan dunia perwayangan Jawa. Di depan pintu masuk gereja berdiri sebuah patung Semar. Selain itu di dalam gereja tersebut aku tidak menemukan satupun salib –aku jadi teringat dengan gereja Presbyterian yang pernah kukunjungi sewaktu di Amerika yang di dalamnya juga tidak terdapat salib. Patung yesus yang mereka gunakan juga tidak menyertakan wajah, sebab mereka menganggap sangat sulit untuk menggambarkan wajah yesus, dan mereka berargumen bahwa selama ini wajah patung yesus selalu mengikuti budaya jemaatnya, apabila jemaat Afrika maka patung yesus akan berkulit hitam dan berambut keriting, atau jika jemaatnya orang barat yang mayoritas menggunakan patung yesus berwajah ganteng dan berkulit putih. Oleh sebab itu mereka menghilangkan wajah yesus pada patungnya.

Setelah diskusi di Wisma Semar, gedung pertemuan GKJ Dagen, yang diikuti oleh para peserta dengan antusias, kami harus melanjutkan kembali perjalanan kami menuju Kampung PERCIK (Persemaian Cinta Kemanusiaan) di Salatiga. Hampir di separo perjalanan kugunakan untuk tidur. Aku dibangunkan oleh kawan-kawan yang duduk di sampingku di kursi paling belakang –tempat duduk favoritku di bis. Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih aku hanya memandang heran kepada kawan-kawan yang sangat gembira sambil mengambil banyak makanan yang tersedia di salah satu bangunan Kampoeng Percik. Aku mencuci muka dan meminum beberapa gelas air sampai akhirnya aku sadar penuh, bahwa aku telah datang di salah satu pesta, baazar makanan. Disitu tersedia nasi goreng, bakso, dan ronde yang dapat diambil sesuka hati. Penjual nasi goreng dan bakso bahkan sengaja didatangkan untuk memuaskan kerinduan peserta IYP, khususnya dalam menyantap bakso. Jika ada pepatah yang terkenal, patah satu tumbuh seribu, maka pepatah yang kami gunakan adalah habis satu ambil lagi yang baru XD. Welcome to the fooden.
   
Sejumlah nasi goreng dan beberapa piring serta mangkok yang telah digunakan
         Fooden adalah akronim asal dari food eden/food heaven yang artinya surga makanan.

…Bersambung…
13 November 2013

Tidak ada komentar: