Peserta IYP berfoto bersama di depan Home Stay N53 UGM |
Hari
ketiga di Jogjakarta, sudah saatnya kami –peserta IYP- menjadi bangsa nomaden
yang akan berpindah-pindah tempat. Pukul 8 pagi bis sudah siap mengantarkan
kami ke beberapa tempat. Tujuan pertama kami adalah Sekolah Tinggi Agama Hindu
Dharma (STAHD) di Klaten Jawa Tengah. Sebelum berangkat kami sempat
mendiskusikan beberapa hal mengenai nasib Indonesia yang entah kenapa kemudian
mengarah kepada pembahasan ajaran Hindu Dharma. Aku, Firman, dan Agus (penganut
agama Hindu Dharma) berdiskusi secara santai diselingi guyonan-guyonan.
Setelah
lebih dari 1 jam perjalanan kami tiba di STAHD di Klaten. Kami disambut oleh
beberapa orang dosen STAHD dan mahasiswa di kampus tersebut. Tidak begitu
banyak yang menyambut kami disebabkan banyak yang menghadiri undangan kegiatan
lain di tempat berbeda baik para dosennya maupun mahasiswa STAHD. Agus sendiri
–teman sekamarku di UGM- adalah mahasiswa STAHD.
Diskusi
yang berlangsung di STAHD membahas mengenai konsep dasar agama Hindu Dharma,
serta agak menyerempet ke permasalahan nilai-nilai Hindu Dharma yang menyokong
persatuan bangsa Indonesia. Para peserta IYP cukup antusias mengikuti diskusi
kali ini. Aku sendiri cukup antusias mendengarkan penjelasan dari salah satu
dosen STAHD, meskipun aku sudah pernah juga mempelajari sedikit tentang konsep
ajaran Hindu. Dari diskusi tersebut –serta diskusi lain yang pernah kuikuti
sebelumnya- aku mendapatkan kesimpulan subjektif bahwa di dunia ini sudah
sangat banyak ahli-ahli agama, namun anehnya tetap saja banyak terjadi
konflik-konflik agama maupun sosial di berbagai belahan dunia ini. Yang paling
diperlukan oleh dunia saat ini bukan lagi penyebaran dan pengajaran nilai-nilai
kebajikan yang tertuang di ajaran agama, namun pengajaran untuk mengaplikasikannya.
Di tengah kekuranganku dalam hal ilmu, aku menyempatkan diri membaca beberapa
referensi yang menjelaskan posisi beberapa agama dalam hal menjaga perdamaian
dan mencintai sesama. Aku menyimpulkan bahwa semua referensi yang aku baca
justru menyuruh penganut agama untuk saling mencintai dan mengasihi sesama
manusia. Namun anehnya implementasi terhadap hal-hal tersebut seakan tidak
berimbang dengan banyaknya pelanggaran-pelanggaran anjuran untuk saling
mengasihi yang berujung konflik, yang bahkan pada sebagian perisitiwa didalangi
oleh orang-orang yang dianggap ahli dalam hal agama. Semoga di lain kesempatan aku
bisa membuat tulisan yang membahas lebih dalam mengenai hal ini.
Diskusi
kali ini juga menghadirkan beragam pertanyaan dari kawan-kawan peserta IYP. Terlihat
bahwa para peserta IYP sangat bersemangat dan memiliki rasa ingin tahu yang
tinggi. Hanya saja, ada beberapa pertanyaan yang dilontarkan oleh kawan-kawan
peserta IYP yang membuat aku bertanya-tanya tentang apa tujuan awal dibuatnya
program IYP ini. Aku tetap berprasangka positif bahwa mereka hanya sekedar
ingin tahu, meskipun masih belum bisa membungkus pertanyaan tersebut dengan
kata-kata yang lebih enak didengar dan tidak menimbulkan kesan offend.
Ada beberapa pertanyaan yang mungkin mengusikku, karena mereka bertanya tentang
konsep ajaran Hindu Dharma dengan terlebih dahulu membandingkannya dengan
ajaran agama yang mereka anut. Seperti yang kukatakan sebelumnya, bahwa hal ini
membuatku bertanya-tanya, apakah IYP ini adalah sekedar program perbandingan
agama, atau program yang dapat menghasilkan jalinan kerjasama pemuda antar
agama dari seluruh nusantara untuk bersama-sama membangun negeri ini, atau
bahkan dalam skala yang lebih luas, membangun kebersamaan di muka bumi ini. Aku
berharap aku dapat menanyakan hal ini kepada panitia IYP dan menyampaikan
beberapa hal mengenai pendapatku kepada teman-teman peserta IYP lainnya pada
saat evaluasi atau review perjalanan hari ini.
Disangka
Katolik
28
pemuda se-Indonesia yang memiliki beragam latar belakang daerah, suku, budaya,
dan agama saling berkumpul untuk melakukan banyak hal agar menghasilkan
kebersamaan dan jalinan kerjasama pemuda antar agama di Indonesia dalam
membangun Indonesia melalui program IYP ini. Sebagian besar peserta IYP tidak
menampakkan identitas agamanya dalam keseharian. Sehingga cukup sulit bagi
sebagian orang untuk menebak latar belakang agama kami –kecuali peserta
perempuan yang menggunakan jilbab-. Bahkan untuk sebagian peserta IYP sendiri,
cukup sulit untuk mengenali dengan jelas seluruh peserta IYP dalam waktu dua
hari saja. Entah kenapa, Tere, salah seorang peserta IYP asal Banda Aceh,
bahkan sempat mengira aku seorang katolik. Sebelumnya dia menanyakan agamaku
apa, tapi aku tidak menjawabnya dan hanya tersenyum. Dia kemudian bertanya
kepada Fahmi, namun aku melarang Fahmi untuk memberitahu. Akhirnya dengan rasa
penasaran yang tinggi, dia kubiarkan menebak agamaku. “Katolik ya?” tanyanya
penuh rasa ingin tahu. Aku dan Fahmi tertawa mendengar hal itu. “Kenapa kamu
mengira aku seorang katolik?” balasku. “Enggak tau juga, tapi mukamu seperti
katolik” jawabnya. Aku semakin tertawa dan Fahmi akhirnya menjelaskan bahwa aku
seorang muslim. Fahmi juga menyarankan Tere agar membuka guide book yang di
dalamnya ada biodata seluruh peserta IYP. Tere pun tampak agak malu karena
salah menebak. “Maaf yaa, jangan tersinggung” ungkapnya. Aku hanya tertawa dan
menanggapinya dengan santai.
Bertemu
Kawan Lama
Siang
itu kami harus kembali menempuh perjalanan menuju Surakarta setelah mengunjungi
STAHD Klaten. Surakarta terkenal sebagai kotanya Jokowi, Gubernur DKI Jakarta
saat ini. Tujuan pertama kami adalah Majelis Agama Khonghucu (MAKIN) di
Jagalan, Surakarta. Disini aku bertemu dengan mas Karim, koordinator dari State
Alumni di Indonesia, yang akan mengobservasi jalannya program IYP ini.
Sudah cukup lama sejak terakhir bertemu dengannya. Aku mengobrol beberapa hal
dengan mas Karim, mulai dari obrolan ringan, obrolan tentang keberlanjutan
program SUSI, dan beberapa hal lainnya.
Di
MAKIN kami terlibat diskusi dengan beberapa pemuka Khonghucu, selain mengobrol
dengan mas Karim XD. Aku cukup tertarik mendengarkan penjelasan tentang
Khonghucu, selain memang aku tidak memiliki banyak pengetahuan tentang
Khonghucu sebelumnya. Ada banyak hal dari Khonghucu yang masih kabur dalam
benakku, seperti sejarah awal mula penyebaran Khonghucu, beberapa kemiripan
antara Khonghucu dan Budha, serta kesan adanya keidentikan antara ajaran
Khonghucu dan Tionghoa, yang aku utarakan kepada pemuka agama Khonghucu pada
kesempatan diskusi ini. Sambil mengikuti jalannya diskusi, aku menunggu
kedatangan seorang kawan lama di program SUSI RPA yang kuliah di Surakarta.
Sebelumnya aku sudah mengirimkan pesan kepadanya tentang rencana kedatanganku
ke Surakarta.
Tepat
beberapa saat setelah pertanyaanku dijawab oleh pemuka agama Khonghucu, kawan
lamaku tiba di Jagalan. Aku pun keluar dari gedung MAKIN dan menghampirinya.
Waktu yang cukup lama hingga akhirnya kami bisa bertemu kembali. Setelah
mengobrol tentang beberapa hal untuk melepas kangen, kami berfoto bersama
setelah waktu yang sangat lama pasca program SUSI. “Tidak ada yang berubah
darimu Raf” katanya setelah berjumpa denganku. Sangat disayangkan karena
kesibukanku sendiri dalam program IYP dan juga kesibukannya di kampus kami
tidak bisa berlama-lama. Aku kembali masuk ke gedung MAKIN dan mengikuti
diskusi lanjutan setelah kawan lama itu kembali ke kampusnya. Selesai di MAKIN
kami melanjutkan perjalanan ke Vihara tidak jauh dari Jagalan. Aku tidak dapat
mengikuti diskusi di Vihara sejak awal karena hujan yang sangat lebat setelah
aku izin melakukan shalat di gedung yang berbeda dengan Vihara.
Keindahan
Di Kaki Gubung Lawu
Sore
hari, sekitar jam 3, kami kembali harus menjadi bangsa nomaden dengan tujuan
Pesantren Urwatul Wutsqo di Beruk, Karanganyar. Selama perjalanan aku duduk di
bagian belakang bis bersama Abdulloh, Firman, Susanto, dan Fahmi. Selain itu
juga ada beberapa peserta IYP lain yang turut meramaikan fraksi kursi belakang
bis. Harus diakui bahwa fraksi belakang bis ini sangat ribut. Kami bercerita
banyak hal mulai dari yang tidak penting sampai hal yang sangat tidak penting.
Mulai dari pembicaraan agak serius sampai pembicaraan sangat tidak serius.
Bahkan kemudian pembicaraan kami menjurus kepada guyonan. Yang paling banyak
menjadi sasaran dalam guyonan kami adalah Rudianto –peserta IYP dari Makassar-
dan Mel –perwakilan Lombok-. Gelak tawa terdengar hampir di sepanjang
perjalanan. Firman yang sekilas terlihat sangat kalem, ternyata memiliki tawa
yang sangat mengerikan. Dia sangat sulit berhenti ketika tertawa ngakak.
Banyak dari kami yang sakit perut gara-gara tertawa. “Tertawa satu kali lagi
maka sekaratlah kita” ucapku kepada kawan-kawan yang justru kembali mengundang
tawa mereka. Setelah menempuh setengah perjalanan kami berpindah dari bis dan
menggunakan taksi minibus. Aku tidak tahu alasan pasti mengapa kami harus
berpindah kendaraan –yang belakangan kuketahui bahwa medan yang ditempuh sangat
tidak memungkinkan bagi sebuah bis untuk melewatinya-.
Sisa
perjalanan yang kami tempuh menggunakan minibus menggambarkan betapa indahnya
pedesaan di lereng gunung Lawu, di samping cukup berbahayanya perjalanan
tersebut. Keadaan jalan yang sempit dan basah akibat hujan, ditambah jalan yang
berkelak-kelok dan ada beberapa jurang di samping jalan adalah harga yang
mungkin harus dibayar untuk menikmati indahnya view selama perjalanan
ini. Kami menggunakan empat minibus dan satu mobil kijang menuju Pesantren
Urwatul Wutsqo. Kami mengalami kejadian yang cukup membuat sebagian peserta
sedikit khawatir saat minibus di depan kami berhenti mendadak. Minibus tersebut
tidak mampu melewati jalanan menanjak sehingga seluruh penumpang terpaksa
beberapa kali berjalan kaki dan bahkan mendorongnya pada keadaan tersebut.
Udara
dingin menyapa saat keluar dari minibus, meskipun tidak sedingin cuaca di
Amerika Serikat pada saat winter. Pemandangan yang terhampar di lingkungan
Pesantren Urwatul Wutsqo sangat indah. Berada di lereng gunung membuat keadaan
tanahnya tidak rata. Namun justru ini yang menjadi daya tariknya. Seakan desa
ini memiliki tingkatan-tingkatan tanah yang berjejer ke atas –hampir mirip
seperti pedesaan yang memiliki banyak lantai-. Untuk malam ini kami akan tidur
di lingkungan Pesantren Urwatul Wutsqo dan melanjutkan aktifitas berdiskusi
kami besok harinya.
…Bersambung…
12 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar