Rabu, 20 November 2013

Mencari Makna, Menjalin Kebersamaan


Peserta IYP berfoto bersama di depan Home Stay N53 UGM
Hari ketiga di Jogjakarta, sudah saatnya kami –peserta IYP- menjadi bangsa nomaden yang akan berpindah-pindah tempat. Pukul 8 pagi bis sudah siap mengantarkan kami ke beberapa tempat. Tujuan pertama kami adalah Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma (STAHD) di Klaten Jawa Tengah. Sebelum berangkat kami sempat mendiskusikan beberapa hal mengenai nasib Indonesia yang entah kenapa kemudian mengarah kepada pembahasan ajaran Hindu Dharma. Aku, Firman, dan Agus (penganut agama Hindu Dharma) berdiskusi secara santai diselingi guyonan-guyonan.
Setelah lebih dari 1 jam perjalanan kami tiba di STAHD di Klaten. Kami disambut oleh beberapa orang dosen STAHD dan mahasiswa di kampus tersebut. Tidak begitu banyak yang menyambut kami disebabkan banyak yang menghadiri undangan kegiatan lain di tempat berbeda baik para dosennya maupun mahasiswa STAHD. Agus sendiri –teman sekamarku di UGM- adalah mahasiswa STAHD.
 
Gerbang Depan Sekolah Tinggi Agama Hindu di Klaten
Diskusi yang berlangsung di STAHD membahas mengenai konsep dasar agama Hindu Dharma, serta agak menyerempet ke permasalahan nilai-nilai Hindu Dharma yang menyokong persatuan bangsa Indonesia. Para peserta IYP cukup antusias mengikuti diskusi kali ini. Aku sendiri cukup antusias mendengarkan penjelasan dari salah satu dosen STAHD, meskipun aku sudah pernah juga mempelajari sedikit tentang konsep ajaran Hindu. Dari diskusi tersebut –serta diskusi lain yang pernah kuikuti sebelumnya- aku mendapatkan kesimpulan subjektif bahwa di dunia ini sudah sangat banyak ahli-ahli agama, namun anehnya tetap saja banyak terjadi konflik-konflik agama maupun sosial di berbagai belahan dunia ini. Yang paling diperlukan oleh dunia saat ini bukan lagi penyebaran dan pengajaran nilai-nilai kebajikan yang tertuang di ajaran agama, namun pengajaran untuk mengaplikasikannya. Di tengah kekuranganku dalam hal ilmu, aku menyempatkan diri membaca beberapa referensi yang menjelaskan posisi beberapa agama dalam hal menjaga perdamaian dan mencintai sesama. Aku menyimpulkan bahwa semua referensi yang aku baca justru menyuruh penganut agama untuk saling mencintai dan mengasihi sesama manusia. Namun anehnya implementasi terhadap hal-hal tersebut seakan tidak berimbang dengan banyaknya pelanggaran-pelanggaran anjuran untuk saling mengasihi yang berujung konflik, yang bahkan pada sebagian perisitiwa didalangi oleh orang-orang yang dianggap ahli dalam hal agama. Semoga di lain kesempatan aku bisa membuat tulisan yang membahas lebih dalam mengenai hal ini.

Diskusi kali ini juga menghadirkan beragam pertanyaan dari kawan-kawan peserta IYP. Terlihat bahwa para peserta IYP sangat bersemangat dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Hanya saja, ada beberapa pertanyaan yang dilontarkan oleh kawan-kawan peserta IYP yang membuat aku bertanya-tanya tentang apa tujuan awal dibuatnya program IYP ini. Aku tetap berprasangka positif bahwa mereka hanya sekedar ingin tahu, meskipun masih belum bisa membungkus pertanyaan tersebut dengan kata-kata yang lebih enak didengar dan tidak menimbulkan kesan offend. Ada beberapa pertanyaan yang mungkin mengusikku, karena mereka bertanya tentang konsep ajaran Hindu Dharma dengan terlebih dahulu membandingkannya dengan ajaran agama yang mereka anut. Seperti yang kukatakan sebelumnya, bahwa hal ini membuatku bertanya-tanya, apakah IYP ini adalah sekedar program perbandingan agama, atau program yang dapat menghasilkan jalinan kerjasama pemuda antar agama dari seluruh nusantara untuk bersama-sama membangun negeri ini, atau bahkan dalam skala yang lebih luas, membangun kebersamaan di muka bumi ini. Aku berharap aku dapat menanyakan hal ini kepada panitia IYP dan menyampaikan beberapa hal mengenai pendapatku kepada teman-teman peserta IYP lainnya pada saat evaluasi atau review perjalanan hari ini.

Disangka Katolik

28 pemuda se-Indonesia yang memiliki beragam latar belakang daerah, suku, budaya, dan agama saling berkumpul untuk melakukan banyak hal agar menghasilkan kebersamaan dan jalinan kerjasama pemuda antar agama di Indonesia dalam membangun Indonesia melalui program IYP ini. Sebagian besar peserta IYP tidak menampakkan identitas agamanya dalam keseharian. Sehingga cukup sulit bagi sebagian orang untuk menebak latar belakang agama kami –kecuali peserta perempuan yang menggunakan jilbab-. Bahkan untuk sebagian peserta IYP sendiri, cukup sulit untuk mengenali dengan jelas seluruh peserta IYP dalam waktu dua hari saja. Entah kenapa, Tere, salah seorang peserta IYP asal Banda Aceh, bahkan sempat mengira aku seorang katolik. Sebelumnya dia menanyakan agamaku apa, tapi aku tidak menjawabnya dan hanya tersenyum. Dia kemudian bertanya kepada Fahmi, namun aku melarang Fahmi untuk memberitahu. Akhirnya dengan rasa penasaran yang tinggi, dia kubiarkan menebak agamaku. “Katolik ya?” tanyanya penuh rasa ingin tahu. Aku dan Fahmi tertawa mendengar hal itu. “Kenapa kamu mengira aku seorang katolik?” balasku. “Enggak tau juga, tapi mukamu seperti katolik” jawabnya. Aku semakin tertawa dan Fahmi akhirnya menjelaskan bahwa aku seorang muslim. Fahmi juga menyarankan Tere agar membuka guide book yang di dalamnya ada biodata seluruh peserta IYP. Tere pun tampak agak malu karena salah menebak. “Maaf yaa, jangan tersinggung” ungkapnya. Aku hanya tertawa dan menanggapinya dengan santai.

Bertemu Kawan Lama

Siang itu kami harus kembali menempuh perjalanan menuju Surakarta setelah mengunjungi STAHD Klaten. Surakarta terkenal sebagai kotanya Jokowi, Gubernur DKI Jakarta saat ini. Tujuan pertama kami adalah Majelis Agama Khonghucu (MAKIN) di Jagalan, Surakarta. Disini aku bertemu dengan mas Karim, koordinator dari State Alumni di Indonesia, yang akan mengobservasi jalannya program IYP ini. Sudah cukup lama sejak terakhir bertemu dengannya. Aku mengobrol beberapa hal dengan mas Karim, mulai dari obrolan ringan, obrolan tentang keberlanjutan program SUSI, dan beberapa hal lainnya.
 
Majelis Agama Khonghucu, Surakarta
Di MAKIN kami terlibat diskusi dengan beberapa pemuka Khonghucu, selain mengobrol dengan mas Karim XD. Aku cukup tertarik mendengarkan penjelasan tentang Khonghucu, selain memang aku tidak memiliki banyak pengetahuan tentang Khonghucu sebelumnya. Ada banyak hal dari Khonghucu yang masih kabur dalam benakku, seperti sejarah awal mula penyebaran Khonghucu, beberapa kemiripan antara Khonghucu dan Budha, serta kesan adanya keidentikan antara ajaran Khonghucu dan Tionghoa, yang aku utarakan kepada pemuka agama Khonghucu pada kesempatan diskusi ini. Sambil mengikuti jalannya diskusi, aku menunggu kedatangan seorang kawan lama di program SUSI RPA yang kuliah di Surakarta. Sebelumnya aku sudah mengirimkan pesan kepadanya tentang rencana kedatanganku ke Surakarta.

Tepat beberapa saat setelah pertanyaanku dijawab oleh pemuka agama Khonghucu, kawan lamaku tiba di Jagalan. Aku pun keluar dari gedung MAKIN dan menghampirinya. Waktu yang cukup lama hingga akhirnya kami bisa bertemu kembali. Setelah mengobrol tentang beberapa hal untuk melepas kangen, kami berfoto bersama setelah waktu yang sangat lama pasca program SUSI. “Tidak ada yang berubah darimu Raf” katanya setelah berjumpa denganku. Sangat disayangkan karena kesibukanku sendiri dalam program IYP dan juga kesibukannya di kampus kami tidak bisa berlama-lama. Aku kembali masuk ke gedung MAKIN dan mengikuti diskusi lanjutan setelah kawan lama itu kembali ke kampusnya. Selesai di MAKIN kami melanjutkan perjalanan ke Vihara tidak jauh dari Jagalan. Aku tidak dapat mengikuti diskusi di Vihara sejak awal karena hujan yang sangat lebat setelah aku izin melakukan shalat di gedung yang berbeda dengan Vihara.

Keindahan Di Kaki Gubung Lawu

Sore hari, sekitar jam 3, kami kembali harus menjadi bangsa nomaden dengan tujuan Pesantren Urwatul Wutsqo di Beruk, Karanganyar. Selama perjalanan aku duduk di bagian belakang bis bersama Abdulloh, Firman, Susanto, dan Fahmi. Selain itu juga ada beberapa peserta IYP lain yang turut meramaikan fraksi kursi belakang bis. Harus diakui bahwa fraksi belakang bis ini sangat ribut. Kami bercerita banyak hal mulai dari yang tidak penting sampai hal yang sangat tidak penting. Mulai dari pembicaraan agak serius sampai pembicaraan sangat tidak serius. Bahkan kemudian pembicaraan kami menjurus kepada guyonan. Yang paling banyak menjadi sasaran dalam guyonan kami adalah Rudianto –peserta IYP dari Makassar- dan Mel –perwakilan Lombok-. Gelak tawa terdengar hampir di sepanjang perjalanan. Firman yang sekilas terlihat sangat kalem, ternyata memiliki tawa yang sangat mengerikan. Dia sangat sulit berhenti ketika tertawa ngakak. Banyak dari kami yang sakit perut gara-gara tertawa. “Tertawa satu kali lagi maka sekaratlah kita” ucapku kepada kawan-kawan yang justru kembali mengundang tawa mereka. Setelah menempuh setengah perjalanan kami berpindah dari bis dan menggunakan taksi minibus. Aku tidak tahu alasan pasti mengapa kami harus berpindah kendaraan –yang belakangan kuketahui bahwa medan yang ditempuh sangat tidak memungkinkan bagi sebuah bis untuk melewatinya-.
 
Pemandangan dari lereng gunung Lawu
Sisa perjalanan yang kami tempuh menggunakan minibus menggambarkan betapa indahnya pedesaan di lereng gunung Lawu, di samping cukup berbahayanya perjalanan tersebut. Keadaan jalan yang sempit dan basah akibat hujan, ditambah jalan yang berkelak-kelok dan ada beberapa jurang di samping jalan adalah harga yang mungkin harus dibayar untuk menikmati indahnya view selama perjalanan ini. Kami menggunakan empat minibus dan satu mobil kijang menuju Pesantren Urwatul Wutsqo. Kami mengalami kejadian yang cukup membuat sebagian peserta sedikit khawatir saat minibus di depan kami berhenti mendadak. Minibus tersebut tidak mampu melewati jalanan menanjak sehingga seluruh penumpang terpaksa beberapa kali berjalan kaki dan bahkan mendorongnya pada keadaan tersebut.

Udara dingin menyapa saat keluar dari minibus, meskipun tidak sedingin cuaca di Amerika Serikat pada saat winter. Pemandangan yang terhampar di lingkungan Pesantren Urwatul Wutsqo sangat indah. Berada di lereng gunung membuat keadaan tanahnya tidak rata. Namun justru ini yang menjadi daya tariknya. Seakan desa ini memiliki tingkatan-tingkatan tanah yang berjejer ke atas –hampir mirip seperti pedesaan yang memiliki banyak lantai-. Untuk malam ini kami akan tidur di lingkungan Pesantren Urwatul Wutsqo dan melanjutkan aktifitas berdiskusi kami besok harinya.

…Bersambung…

12 November 2013

Tidak ada komentar: