Senin, 18 November 2013

Perjalanan Untuk Mengenali dan Memahami


Peserta IYP berjalan menuju ICRS di gedung Pascasarjana UGM
Hari kedua di Jogja, aktifitas kami dalam program Interfaith Youth Pilgrimage dimulai. Pagi-pagi sekali kami berangkat dari home stay ke gedung pascasarjana UGM. Lingkungan pascasarjana UGM memiliki nilai arsitektur yang menarik. Saat memasuki lingkungan pascasarjana UGM kita akan disambut oleh sebuah jembatan yang menghubungkan dua sisi jalan yang dibelah oleh aliran sungai kecil -atau parit besar?-. Aku kurang ahli dalam menggambarkan betapa indahnya nilai-nilai arsitektur suatu tempat atau bangunan. Aku lebih condong menjadi seorang penikmat view yang indah dibandingkan pengamat atau pemerhati. Keindahan gedung pascasarjana UGM tentu tidak kami lewatkan begitu saja. Kami berfoto bersama di depan gedung tersebut.


Puas mengambil cukup banyak foto, kami memasuki gedung pascasarjana UGM. Meskipun tersedia lift tapi aku lebih memilih menggunakan tangga untuk naik ke lantai 3 bersama sebagian besar peserta IYP menuju ruang ICRS -Indonesian Consortium for Religious Studies- pencetus program ini. Niat hati ingin menemui mas Munjid -mentor SUSI RPA di Philadelphia-, namun hingga berakhirnya sesi di ICRS aku tidak dapat bertemu dengannya - belakangan aku mengetahui bahwa mas Munjid bekerja di CRCS bukan ICRS, dan ruangan CRCS ternyata berada di sebelah ruangan ICRS X( -.
Suasana saat bercerita tentang garis kehidupan
Pagi itu kami mengambil sesi kelas dengan topik perkenalan diri sendiri, teman-teman peserta IYP, dan panitia IYP. Fasilitator kami adalah Bu Etty, perempuan yang sangat energik dan selalu membuat kami fun bahkan tertawa geli akan tingkahnya yang lucu. Salah satu hal yang menarik ada pada saat kami -yang sebelumnya telah dibagi menjadi beberapa kelompok- saling sharing mengenai life line kami. Kami saling bercerita manis pahitnya perjalanan hidup yang pernah dilalui. Tidak ada kesan menutup-nutupi dalam hal ini, meskipun hal yang sangat privasi tetap tidak kami ceritakan. Setelah membuat konsep life line, kami menceritakan hal-hal yang sekiranya perlu untuk diceritakan sebagai langkah mempererat kebersamaan dan rasa saling percaya kami satu sama lain. Kami saling sharing betapa hidup kami penuh dengan lika-liku yang tidak selamanya selalu bahagia. Ada kalanya kami mengalami peristiwa yang mampu menghapus senyum kami untuk sementara waktu. Namun kami selalu mampu bangkit dari keterpurukan dan terus berjalan menggapai cita-cita yang kami impikan. Aku bersyukur pada saat itu berada di kelompok yang sangat luar biasa, yang mampu menyikapi keadaan genting -kalau bisa dikatakan buruk- dengan cepat. Wawan, Mel, Masduri, Robbie, Annur, dan aku sendiri saling bercerita tentang kehidupan kami yang turun naik. Hanya saja sangat disayangkan kami tidak bisa mendengarkan cerita Annur sampai tuntas berhubung waktu yang diberikan kepada kami sudah habis. Namun kami berjanji akan mendengarkan cerita lanjutan dari Annur di lain waktu saat kami mempunyai waktu luang dan kami juga mewajibkannya untuk menuntaskan ceritanya.

28 Pemuda Agen Resolusi Konflik

Diskusi pertama dalam program IYP dimulai dengan pembahasan Sejarah Kekerasan Antar Agama dan Antar Kelompok di Indonesia dengan dua orang narasumber, Leonard C Epafras dan Frans Vicky De Jalong. Pemaparan materi kali ini sangat menarik karena materi yang dibahas adalah akar rumput dari sejarah konflik di dunia ini secara umum dan Indonesia secara khusus. Sudah lebih dari 230 juta jiwa mati diakibatkan konflik -ini adalah hasil penelitian konservatif, artinya jumlah yang diambil adalah perkiraan jumlah yang paling sedikit. Dari semua itu, konflik atas nama agama adalah penyumbang korban jiwa terbanyak. Padahal sudah jelas, tidak ada satu agama pun yang mengajarkan kekerasan maupun perang jika tidak dalam keadaan terpaksa.

Konflik erat kaitannya dengan pergesekan ego dari dua pihak, individu maupun kelompok, yang saling berbeda. Masing-masing pihak akan mencari pihak-pihak yang lain yang berdekatan secara identitas untuk menjadi pendukung atau simpatisan. Pada saat ini identitas terbesar yang bisa dijadikan sebagai tameng dan sebagai magnet untuk mengumpulkan banyak simpatisan adalah agama. Oleh sebab itu, banyak pihak-pihak yang bertikai dengan tidak bertanggung jawab menggunakan agama untuk mencari pendukung. Agama dijadikan pembenaran terhadap tindakan mereka yang sebenarnya justru bertentangan dengan semua ajaran agama yang ada di dunia ini. Politik identitas digunakan sehingga konflik yang awalnya terjadi antara dua pihak dalam skala yang lebih kecil, dipolitisir menjadi konflik dengan skala yang lebih besar, yakni konflik yang mengatasnamakan agama.
Makan siang sambil berdiskusi dengan Pak Leonard C Epafras
Dalam beberapa kesempatan, di luar sesi diskusi semi formal dalam program IYP, aku sempat berdiskusi dengan beberapa teman dan Pak Leonard C Epafras terkait solusi untuk mencapai persatuan. Seorang temanku, Firman, mengajukan sebuah fakta historis dimana para mahasiswa hampir di seluruh Indonesia bersatu dalam menggulingkan rezim presiden Soeharto dalam kurun waktu yang cukup lama dan mengalami puncaknya pada tahun 1998. Dan bersatunya para mahasiswa disebabkan adanya persamaan dalam hal musuh, yakni rezim pemerintahan saat itu yang dijadikan sebagai musuh bersama. Aku sempat berkelakar bahwa untuk mencapai persatuan seluruh umat manusia meskipun dengan latar belakang yang berbeda kita harus menciptakan musuh bersama yang baru. Kita baru akan bersatu apabila seluruh manusia sudah menetapkan sesuatu sebagai musuh yang sama. Aku mengajak mereka membayangkan bahwa akan ada penghuni planet lain yang berniat menginvasi bumi, sehingga seluruh penduduk bumi terlepas dari apapun latar belakangnya, akan bersatu melawan makhluk luar angkasa tersebut.

Politik identitas merupakan parasit yang dapat menjadikan identitas-identitas sebagai tameng untuk melindungi dirinya dan menguntungkan dirinya sendiri. Konflik-konflik atas nama agama yang terjadi, khususnya di Indonesia, merupakan konflik yang diciptakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, menyeret agama sebagai pembenaran atas kekerasan bahkan pembantaian yang mereka lakukan. 28 pemuda yang menjadi peserta IYP adalah agen perubahan calon pemimpin negeri yang akan membawa perdamaian di Indonesia. 28 pemuda agen resolusi konflik.

"..."



Siang itu, setelah menyelesaikan agenda diskusi di UGM kami memiliki jadwal kunjungan ke DIAN Interfidei, sebuah organisasi yang memperjuangkan harmonisasi antar pemeluk agama di Indonesia. DIAN Interfidei merupakan akronim dari Dialog Antar Iman/Interfaith Dialogue for Indonesia yang berkantor di Jogjakarta. Kami disambut dengan ramah oleh Elga Sarapung, Direktur DIAN Interfidei, dan staff lainnya. Sesi awal adalah menonton film dokumenter perjalanan DIAN Interfidei dilanjutkan diskusi mengenai perjalanan dalam memperjuangkan nilai-nilai toleransi dan multikulturalisme di Indonesia, sehingga membawa gagasan untuk mendirikan DIAN Interfidei di Jogjakarta. Banyak tokoh-tokoh terkenal terlibat dalam penyebaran nilai-nilai toleransi di Indonesia, khususnya pulau Jawa. Gus Dur adalah contohnya.
Foto bersama IYP dan DIAN Interfidei
Aku sangat tertarik ketika melihat sebuah sesi diskusi yang ditampilkan di dalam film tersebut, dimana ada Professor Leonard Swidler bersama sejumlah aktifis toleransi asal Indonesia. Aku jadi teringat kembali akan semua petuah yang pernah diberikannya ketika memberikanku perkuliahan di Temple University. Professor Leonard Swidler adalah seorang pejuang toleransi di Amerika Serikat dan bahkan skala dunia. Teori relatifitas kebenaran dalam kehidupan teologi yang digunakannya cukup dikenal dalam dunia pluralisme agama. Nobody knows everything about anything. Tidak ada seorangpun yang mengetahui keseluruhan dari sesuatu. Teori ini ia sebarkan sebagai pintu pertama membuka diri dalam berdialog. Teori ini ia gunakan untuk menghilangkan sikap self truth yang banyak dimiliki oleh manusia. Sikap self truth merupakan salah satu pemicu perpecahan bahkan konflik, terutama konflik atas nama agama. Sehingga melalui teori ini, tidak ada yang namanya kebenaran mutlak. Melalui teori ini akan muncul benih-benih toleransi terhadap orang lain yang berbeda, termasuk dalam hal teologi. Meskipun saya tidak sepenuhnya setuju dengan implementasi dari teori ini. Semoga di lain waktu saya bisa memberikan pandangan saya terhadap hal ini.

Perjuangan menyebarkan paham toleransi dan pluralisme sudah menyentuh hampir seluruh bagian yang ada di dunia ini. Terdapat kemiripan dari apa yang diperjuangkan oleh penggiat pluralisme agama di luar sana dengan di Indonesia. DIAN Interfidei adalah salah satu organisasi yang bergelut dalam bidang pluralisme agama.

Semua Memiliki Cerita

Pilgrimage hari itu dilanjutkan dengan mengunjungi Pura Jagatnatha. Pura tersebut merupakan tempat ibadah penganut ajaran Hindu yang ada di sekitar Yogyakarta. Kami disambut dengan ramah oleh Pak Sunyoto, pengampu dari Pura Jagatnatha. Selanjutnya beliau mengajak kami ke santi sasana, yakni tempat pertemuan yang biasa digunakan untuk membahas berbagai macam hal di Pura Jagatnatha. Secara bahasa santi sasana berarti tempat yang damai. Disana kami berdiskusi mengenai ajaran agama Hindu dan perkembangannya di Yogyakarta.
Ibadah Agama Hindu dan diikuti oleh peserta IYP
Diskusi selesai pada petang hari dan Pak Sunyoto mengajak kami masuk ke dalam pura. Pak Sunyoto akan melakukan ritual ibadah agama Hindu dan mempersilahkan peserta IYP untuk mengikutinya. Hampir semua peserta IYP mengikuti ritual ibadah tersebut dengan duduk membentuk 3 barisan ke belakang. Awalnya hanya aku peserta IYP yang duduk di luar barisan orang-orang yang akan beribadah, selain Pak Leo dan Mas Erich yang juga berada di luar barisan. Kemudian diikuti oleh dua orang peserta IYP lainnya. Sedangkan sisanya tetap mengikuti jalannya ibadah Hindu hingga selesai.
Bu Elis menjelaskan tips mendapatkan photo stories
Pada malam harinya, kami sudah kembali ke home stay N53 UGM. Setelah beristirahat sejenak, sesi pada malam itu dilanjutkan dengan penjelasan tentang jurnal dan photo stories oleh Bu Elis. Kami mendapatkan banyak tips memotret agar mendapatkan hasil foto yang bagus dan bahkan "bercerita". Photo stories disini artinya tidak hanya sekedar foto, tapi dia memiliki cerita tersendiri. Setiap orang yang melihat foto tersebut akan dapat menangkap maksud darinya meski tanpa membaca penjelasan sedikitpun dari foto tersebut. Photo stories adalah keunikan tersendiri. Tidak semua orang memiliki sense dan feel yang tepat dalam memotret, sehingga foto bercerita adalah karya yang langka dan berharga.

...Bersambung...

11 November 2013

Tidak ada komentar: