Peserta IYP berjalan menuju ICRS di gedung Pascasarjana UGM |
Puas mengambil cukup banyak foto, kami memasuki gedung pascasarjana UGM. Meskipun tersedia lift tapi aku lebih memilih menggunakan tangga untuk naik ke lantai 3 bersama sebagian besar peserta IYP menuju ruang ICRS -Indonesian Consortium for Religious Studies- pencetus program ini. Niat hati ingin menemui mas Munjid -mentor SUSI RPA di Philadelphia-, namun hingga berakhirnya sesi di ICRS aku tidak dapat bertemu dengannya - belakangan aku mengetahui bahwa mas Munjid bekerja di CRCS bukan ICRS, dan ruangan CRCS ternyata berada di sebelah ruangan ICRS X( -.
Suasana saat bercerita tentang garis kehidupan |
28 Pemuda Agen Resolusi Konflik
Diskusi pertama dalam program IYP dimulai dengan pembahasan Sejarah Kekerasan Antar Agama dan Antar Kelompok di Indonesia dengan dua orang narasumber, Leonard C Epafras dan Frans Vicky De Jalong. Pemaparan materi kali ini sangat menarik karena materi yang dibahas adalah akar rumput dari sejarah konflik di dunia ini secara umum dan Indonesia secara khusus. Sudah lebih dari 230 juta jiwa mati diakibatkan konflik -ini adalah hasil penelitian konservatif, artinya jumlah yang diambil adalah perkiraan jumlah yang paling sedikit. Dari semua itu, konflik atas nama agama adalah penyumbang korban jiwa terbanyak. Padahal sudah jelas, tidak ada satu agama pun yang mengajarkan kekerasan maupun perang jika tidak dalam keadaan terpaksa.
Konflik erat kaitannya dengan pergesekan ego dari dua pihak, individu maupun kelompok, yang saling berbeda. Masing-masing pihak akan mencari pihak-pihak yang lain yang berdekatan secara identitas untuk menjadi pendukung atau simpatisan. Pada saat ini identitas terbesar yang bisa dijadikan sebagai tameng dan sebagai magnet untuk mengumpulkan banyak simpatisan adalah agama. Oleh sebab itu, banyak pihak-pihak yang bertikai dengan tidak bertanggung jawab menggunakan agama untuk mencari pendukung. Agama dijadikan pembenaran terhadap tindakan mereka yang sebenarnya justru bertentangan dengan semua ajaran agama yang ada di dunia ini. Politik identitas digunakan sehingga konflik yang awalnya terjadi antara dua pihak dalam skala yang lebih kecil, dipolitisir menjadi konflik dengan skala yang lebih besar, yakni konflik yang mengatasnamakan agama.
Makan siang sambil berdiskusi dengan Pak Leonard C Epafras |
Politik identitas merupakan parasit yang dapat menjadikan identitas-identitas sebagai tameng untuk melindungi dirinya dan menguntungkan dirinya sendiri. Konflik-konflik atas nama agama yang terjadi, khususnya di Indonesia, merupakan konflik yang diciptakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, menyeret agama sebagai pembenaran atas kekerasan bahkan pembantaian yang mereka lakukan. 28 pemuda yang menjadi peserta IYP adalah agen perubahan calon pemimpin negeri yang akan membawa perdamaian di Indonesia. 28 pemuda agen resolusi konflik.
"..."
Siang itu, setelah menyelesaikan
agenda diskusi di UGM kami memiliki jadwal kunjungan ke DIAN Interfidei, sebuah
organisasi yang memperjuangkan harmonisasi antar pemeluk agama di Indonesia.
DIAN Interfidei merupakan akronim dari Dialog Antar Iman/Interfaith Dialogue
for Indonesia yang berkantor di Jogjakarta. Kami disambut dengan ramah oleh
Elga Sarapung, Direktur DIAN Interfidei, dan staff lainnya. Sesi awal adalah
menonton film dokumenter perjalanan DIAN Interfidei dilanjutkan diskusi
mengenai perjalanan dalam memperjuangkan nilai-nilai toleransi dan
multikulturalisme di Indonesia, sehingga membawa gagasan untuk mendirikan DIAN
Interfidei di Jogjakarta. Banyak tokoh-tokoh terkenal terlibat dalam penyebaran
nilai-nilai toleransi di Indonesia, khususnya pulau Jawa. Gus Dur adalah
contohnya.
Aku sangat tertarik ketika melihat sebuah sesi diskusi yang ditampilkan di dalam film tersebut, dimana ada Professor Leonard Swidler bersama sejumlah aktifis toleransi asal Indonesia. Aku jadi teringat kembali akan semua petuah yang pernah diberikannya ketika memberikanku perkuliahan di Temple University. Professor Leonard Swidler adalah seorang pejuang toleransi di Amerika Serikat dan bahkan skala dunia. Teori relatifitas kebenaran dalam kehidupan teologi yang digunakannya cukup dikenal dalam dunia pluralisme agama. Nobody knows everything about anything. Tidak ada seorangpun yang mengetahui keseluruhan dari sesuatu. Teori ini ia sebarkan sebagai pintu pertama membuka diri dalam berdialog. Teori ini ia gunakan untuk menghilangkan sikap self truth yang banyak dimiliki oleh manusia. Sikap self truth merupakan salah satu pemicu perpecahan bahkan konflik, terutama konflik atas nama agama. Sehingga melalui teori ini, tidak ada yang namanya kebenaran mutlak. Melalui teori ini akan muncul benih-benih toleransi terhadap orang lain yang berbeda, termasuk dalam hal teologi. Meskipun saya tidak sepenuhnya setuju dengan implementasi dari teori ini. Semoga di lain waktu saya bisa memberikan pandangan saya terhadap hal ini.
Perjuangan menyebarkan paham toleransi dan pluralisme sudah menyentuh hampir seluruh bagian yang ada di dunia ini. Terdapat kemiripan dari apa yang diperjuangkan oleh penggiat pluralisme agama di luar sana dengan di Indonesia. DIAN Interfidei adalah salah satu organisasi yang bergelut dalam bidang pluralisme agama.
Pilgrimage hari itu dilanjutkan dengan mengunjungi Pura Jagatnatha. Pura tersebut merupakan tempat ibadah penganut ajaran Hindu yang ada di sekitar Yogyakarta. Kami disambut dengan ramah oleh Pak Sunyoto, pengampu dari Pura Jagatnatha. Selanjutnya beliau mengajak kami ke santi sasana, yakni tempat pertemuan yang biasa digunakan untuk membahas berbagai macam hal di Pura Jagatnatha. Secara bahasa santi sasana berarti tempat yang damai. Disana kami berdiskusi mengenai ajaran agama Hindu dan perkembangannya di Yogyakarta.
Ibadah Agama Hindu dan diikuti oleh peserta IYP |
Bu Elis menjelaskan tips mendapatkan photo stories |
...Bersambung...
11 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar